Resopa Temmangingngi Namalomo Naletei Pammase dewata...
Home » , » PERSPEKTIF GENDER DALAM ISLAM

PERSPEKTIF GENDER DALAM ISLAM

Lalu benarkah stereotip yang berkembang bahwa ibu rumah tangga bukan suatu karier, dan karier hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat official dan profit semata? lalu status apa yang mesti disandang bagi perempuan yang memilih jalur rumah tangga sebagai pilihan hidupnya?

era risalah telah mengubur masa penetrasi kaum laki-laki atas wanita dan mengganti dengan masa yang lebih segar bagi perjalanan hidup perempuan selanjutnya. Sejarah awal Islam telah memaparkan kenyatan bahwa Islam justru mendorong dan mengangkat kemuliaan perempuan yang belum pernah diberikan sebelumnya oleh suku bangsa manapun sebelumnya dan peradaban tua sebelum Islam.

Diskursus gender dalam agenda feminisme kontemporer banyak memfokuskan pada persamaan hak, partisipasi perempuan dalam kerja, pendidikan, kebebasan seksual maupun hak reproduksi. Sejak abad 17 hingga 21 perjuangan feminis telah mencapai pasang surut dan mengalami perluasan wilayah tuntutan dan agenda perjuangan yang jauh lebih rumit bahkan menuntut satu studi khusus terhadap wacana ini.

Dari kubu pro dan kontra feminisme, dari kritikan dan kecaman yang terlontar, Islam diantaranya yang paling mendapat banyak sorotan dalam kaitannya terhadap status dan aturan yang diberikan agama ini terhadap kaum perempuan. Hegemoni Islam terhadap perempuan muslim di negara-negara Islam terlihat jelas dalam dalam praktek keseharian di panggung kehidupan, dimana kaum perempuan mendapat kesulitan dalam bergaul, mengekpresikan kebebasan individunya, terkungkung oleh aturan yang sangat membatasi ruang kerja dan gerak dinamisnya, bahkan suaranyapun tidak berarti layaknya seorang warga negara atau anggota masyarakat atau hak seorang inddividu.

Fenomena ini terlihat jelas di negara-negara ketiga yang notabennnya adalah negara Islam. Namun benarkah demikian? atau justru Islam yang menginspirasikan munculnya gerakan feminisme masa lalu dan menyuarakan persamaan hak antar laki-laki dan perempuan yang hidup dalam kondisi kronis pada masa itu? Mendiskusikan kaitan feminisme dan Islam tak akan kita lepaskan dari kehadiran Qur’an sebagai buku petunjuk samawi yang secara komprehensif dan lugas memaparkan hak asasi perempuan dan laki-laki yang sama, hak itu meliputi hak dalam beribadah, keyakinan, pendidikan, potensi spiritual, hak sebagai manusia, dan eksistensi menyeluruh pada hampir semua sektor kehidupan.

Di antara 114 surat yang terkandung di dalamnya terdapat satu surat yang didedikasikan untuk perempuan secara khusus memuat dengan lengkap hak asasi perempuan dan aturan-aturan yang mengatur bagaimana seharusnya perempuan berlaku di dalam lembaga pernikahan, keluarga dan sektor kehidupan. Surat ini dikenal dengan surat An-nisa’, dan tidak satupun surat secara khusus ditujukan kepada kaum laki-laki. Lebih jauh lagi, Islam datang sebagai revolusi yang mengeliminasi diskriminasi kaum Jahiliyah atas perempuan dengan pemberian hak warisan, menegaskan persamaan status dan hak dengan laki-laki, pelarangan nikah tanpa jaminan hukum bagi perempuan dan mengeluarkan aturan pernikahan yang mengangkat derajat perempuan masa itu dan perceraian yang manusiawi.
Maka bergantilah era represif masa pra-Islam berlalu dengan kedatangan agama nabi Muhammad saw. yang mengembalikan perempuan sebagai manusia utuh setelah mengalami hidup dalam kondisi yang mengenaskan tanpa kredibilitas apapun dan hanya sebagai komoditi tanpa nilai. Penghargaan Islam atas eksistensi perempuan ditauladankan dalam sisi-sisi kehidupan nabi Muhammad saw.

Terhadap istri-istri beliau, anak maupuan hubungan beliau dengan perempuan di masyarakatnya. Kondisi dinamis perempuan masa risalah tercermin dalam kajian-kajian yang dipimpin langsung Rasulullah yang melibatkan para sahabat dan perempuan dalam satu majlis. Terlihat jelas bagaimana perempuan masa itu mendapatkan hak untuk menimba ilmu, mengkritik, bersuara, berpendapat dan atas permintaan muslimah sendiri meminta Rasul satu majlis terpisah untuk mendapat kesempatan lebih banyak berdialog dan berdiskusi dengan Rasulullah.
Terlihat juga dari geliat aktifitas perempuan sahabat rasullullah dalam panggung bisnis, politik, pendidikan, keagamaan dan sosial, dan ikut serta dalam peperangan dengan sektor yang mereka mampu melakukan. Sirah kehidupan istri-istri Rasul pun mengindikasikan aktifitas aktif dimana Ummul mukminin Khadijah ra. adalah salah satu kampiun bisnis pada masa itu, Aisyah ra. adalah perawi hadis dan banyak memberikan fatwa karena kecerdasannya. Bahkan hawa feminispun telah terdengar dari suara-suara protes dan pertanyaan yang diajukan Ummu Salamah ra. atas eksistensi perempuan.

Dari sini terlihat bahwa era risalah telah mengubur masa penetrasi kaum laki-laki atas wanita dan mengganti dengan masa yang lebih segar bagi perjalanan hidup perempuan selanjutnya. Sejarah awal Islam telah memaparkan kenyatan bahwa Islam justru mendorong dan mengangkat kemuliaan perempuan yang belum pernah diberikan sebelumnya oleh suku bangsa manapun sebelumnya dan peradaban tua sebelum Islam.

Meski demikian hal di atas tidak membebaskan Islam dari stereotip Barat tentang perlakuan institusi ini terhadap perempuan. Dimana perempuan dikebiri hak asasinya untuk maju dan berkembang, melakukan aktifitas di luar rumah, mengaktualisasikan kemampuannya dan terhalangi oleh aturan-aturan kaku Islam yang justru mendorong perempuan untuk terjerat dalam mata rantai tugas-tugas domistik dari dapur, sumur, kasur, mengurus anak dan hal-hal yang jauh dari penghargaan. Terjadinya kasus tindak kekerasan yang minimpa kaum wanita, tidak adanya perlindungan kerja dan kecilnya peluang pertisipasi perempuan di sektor politik, pelayanan publik dan fasilitas khusus untuk perempuan dalam pendidikan, kesehatan, dan sosial. Ditambah lagi dengan himpitan kenyataan nasib kaum perempuan di banyak negara yang secara representatif mewakili dunia Islam seperti Saudi Arabia, Sudan, Pakistan, Bangladesh, Afghanistan, Iran dan lain sebagainya.

Stereotip ini terus menguat dengan penerbitan-penerbitan novel dan kisah tragis perempuan di negara-negara tersebut yang diperlakukan muslim dengan semena-mena yang menjamur di pasaran seperti The Princess, Daughter of Arabia, Beyond The Veil, Without Mercy dan masih banyak lagi.

Terhadap hal ini, telah terjadi kerancuan dalam memandang Islam itu sendiri karena pada saat diskursus perempuan dilontarkan maka masalah yang munculpun bermuara pada hal-hal esensial berkaitan dengan perempuan yaitu pernikahan, keluarga, perceraian, pakaian, hak waris, hak persaksian di pengadilan, dan pendidikan. Maka frame menuju titik krusial tersebut harus dispesifikasikan pada tatanan Islam dan dari mana perpektif yang dibawa dalam melihat bangunan tersebut. Apakah Islam dilihat secara holistik atau sekedar parsial dengan mengedepankan fenomena yang terjadi di negara-negara Islam, atau dengan Islam sebagai way of live atau Islam dengan kualitas implementasi risalah yang belum sempurna.

Hingga yang terjadi bukan justifikasi pendzaliman Islam atas perempuan dengan menilik kenyataan "male dominated" sebagaimana terjadi di negara-negara Islam tersebut. Dan pada perjalanan selanjutnya, terhadap aturan dan status yang diberikan Islam kepada perempuan terdapat fungsi dan ekses-ekses yang positif di masyarakat dimana poin-poin di atas dalam prespektif Islam mempunyai tafsiran yang tentu perlu kejelian dalam mengartikan dan meginterpretasikan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai matematis suatu nominal. Dus, Barat selayaknya lebih dalam mengkaji bangunan Islam dan menjauhkan tendensi negatif dalam memandang aturan ini, apalagi jika tesis-tesis dan kritikan tersebut berangkat dari frame ketidakfahaman dan keengganan mencari kebenaran.

Tapi umat Islam pun tidak bisa menutup mata bahwa kenyataan yang ada akan melahirkan stereotip-stereotip negatif, karena nonsens bila keagungan aturan tidak dibarengi dengan implementasi yang riil dari para penganutnya. Dan bila yang terjadi adalah kesalahan dalam membaca bahasa agama, dengan menginterpretasikan suatu aturan secara subjektif, menghilangkan pesan yang dibawa dan justru menyembunyikan keotentikan pesan dengan manipulasi ajaran diganti dengan kultur-kultur yang merugikan kaum perempuan maka umat Islam pun perlu meri-orientasikan langkah-langkahnya tanpa mengedepankan sikap reaksioner menghalau perspektif negatif Barat terhadap Islam.

Namun, justru mereintrepretasi dan mengakui dengan terbuka bahwa umat Islam belum mampu membaca pesan agama dan mempunyai komitmen yang utuh terhadap ajarannya, yang terbukti dengan mencampuradukan kultur hegemoni atas perempuan dengan meminjam nama agama.

Telah dipaparkan diatas bagaimana sejarah Islam dan aturan yang dibawa ingin memberikan hak dan kemerdekaan perempuan, mendorong perempuan untuk maju, berkarya mendapat perlindungan. Tentu hal ini tidak berbeda dengan deklarasi dan tuntutan yang diajukan feminisme atau pejuang hak asasi perempuan di berbagai belahan manapun dan masa kapanpun jika bentuk tuntutan itu adalah persamaan hak yang mengedepankan pengertian dan kesadaran bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama hak dan kewajibannya, hanya seksis, biologis dan rerpoduktiflah yang membedakan keduanya.

Bila demikian tinggal bagaimana umat Islam benar-benar ingin tampil elegan dan menepis stereotip yang ada dengan sikap proaktif atau tidak? Lalu mengapa muslimah enggan maju? Masih adakah kungkungan psikologis dan kultur yang menghalangi? Bukankah Islam telah menancapkan kakinya sebagai suporter terbesar dan backing gerakan feminisme dari era risalah hingga masa kini. Tentunya, kita perlu upaya dan karya riil terhadap permasalahan ini.

Istri saya tidak bekerja!

Dalam suatu seminar pernah terjadi perdebatan sengit tentang apakah status ibu rumah tangga termasuk kategori pekerjaan atau tidak. Meski perdebatan itu berakhir masih saja perempuan menghadapi situasi dilematis terhadap dua pilihan langkahnya, berkarier atau rumah tangga. Berkarier dengan segala kelebihan dan kekuranganya tentu membawa konsekuensi pada rumah tangga, sementara menjadi ibu rumah tangga semata akan menghambat aktualisasi potensi diri karena perempuan hanya akan berhadapan pada pekerjaan monoton, non-profit, dan rumah sendiri tak lebih sebagai terminal terakhir perempuan dimana di sana tak perlu pengasahan otak dan tuntutan SDM berkualitas tinggi. Dari sini terlihat bahwa status ibu rumah tangga lebih disandang dengan perasaan inferioritas tinggi dibanding karier yang terlihat jelas keunggulannya. Dalam hubungan bermasyarakatpun si perempuan akan memperkenalkan statusnya dengan suara lirih dengan mengatakan "saya hanya seorang ibu rumah tangga biasa", atau seorang suami akan memperkenalkan status istrinya dengan nada suara merendah "istri saya tidak bekerja, ia hanya di rumah."
Bila ditelaah dengan seksama masing-masing profesi tentu bermuara sama yakni pada nilai kesungguhan dan keberhasilan yang akan dihasilkan, hanya performance-nyalah yang berbeda. Lalu benarkah stereotip yang berkembang bahwa ibu rumah tangga bukan suatu karier, dan karier hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat official dan profit semata? lalu status apa yang mesti disandang bagi perempuan yang memilih jalur rumah tangga sebagai pilihan hidupnya ? Tulisan ini mencoba mengulas posisi perempuan sebagai seorang ibu rumah tangga yang menjadikan rumah sebagai basis kariernya. Diantara banyak profesi yang ada, rumah bisa diposisikan sebagai basis karier perempuan pula, yang membutuhkan kesungguhan dan penanganan yang matang,well-planning, dan visi yang tinggi. Hanya anggapan yang melekat bahwa perempuan tidak bekerja bila perhatian dan tenaga yang dimilikinya dicurahkan di sanalah yang harus segera dieliminasi. Sebuah puisi dari Chages, Challenges and Choices: Women in Develompent in Papua New Guinea menuturkan:

My Wife Does Not Work

But then,
Who scrapes the sago?
Who tends the pigs?
Grows and sells the food
So that the family survives?
......
Who fetches the water?
Looks after the children?
Who nurses the sick?
Whose work provides the time
For the men to drink, smoke and play poltics with friends?
Who minds the children?
.......
Whose labour
unseen
Unheard
Unpaid
Unrecognised
Unhelped
Helps development?
Who dares to say
My wife does not work?

(Artinya: Istriku Yang Tidak Bekerja////Suatu ketika/Siapa yang mengerik sagu?/Siapa merawat ternak itu?/Menjadi tumbuh dan menjual makanannya/Hingga keluarga itu bertahan//Siapa menimba air di sumur?/Merawat dan menyayang anak-anak itu?/Merawat yang sakit?/Yang pekerjaannya menghabiskan waktu/Yang bagi lelaki untuk minum kopi, merokok, berpolitik dengan temannya?/Siapa hatinya tercurah bagi anak-anak?//Yang perjuangannya/Tak- terlihat/Tak-terdengar/Tak-dihargai/Tak-terbantu./Membantu pembangunan?/Siapa peduli untuk bilang/Benarkah Istriku tidak bekerja?)

Puisi ini seakan ingin menggugah kesadaran masyarakat bahwa perempuan dalam segala upayanya baik di rural area maupun di kota-kota besar, bekerja siang dan malam dalam situasi yang berbeda untuk kemajuan dan kelangsungan hidup suatu keluarga. Menanami ladang , mencari air, mendidik anak, merawat si sakit menyediakan waktu untuk kepentingan suami yang sibuk dengan dunia perpolitikan, bertandang dan bekerja bersama koleganya. Segala kesibukan tersebut telah menguras energi, waktu, dan kesempatan perempuan, pada bentuk kerja yang tidak terlihat, terdengar, terbayar, tidak dikenal, tidak terbantu meski untuk suatu kemajuan......... dari realita ini siapa yang masih kuasa untuk mengatakan istri saya tidak bekerja?
Indah sekali bila diilusrasikan pada konteks kekinian di mana perempuan di rumah sibuk dengan segala urusan rumah tangga yang nampak sepele dan tidak ternilai namun membutuhkan suatu penanganan yang cermat.

Merawat anak dan mendidiknya pada era teknologi bukan perkara mudah apalagi permainan anak dan tontonannya tidak lagi berupa hal-hal sederhana tapi perlu perhatian dan wawasan luas karena hal tersebut bagian dari target kapitalisme global. Pada setiap serbuan berbagai permainan elektronik dan modern maupun suguhan hiburan tentu membawa ekses-ekses negatif pada psikologis anak hingga tumbuh menjadi pribadi yang konsumtif, hedonistik, manja atau cengeng selain aspek positif lain berupa kemandirian atau kemampuan mengaktualisasikan diri pada anak.
Nabi s.a.w. bersabda "bahwa setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan suci, orang tuanyalah yang akan membuat ia Yahudi, Nasrani atau Majusi.

Barangkali jika dianalogikan menjadi peran orang tua sangat besar dalam membentuk kepribadian generasi entah qur’ani kah, sekuler, marxis, hedonis, oportunis, kapitalis atau ateis. Hal ini tidak terlalu mengejutkan jika dicermati dengan perkembangan fasilitas teknologi dan internet atau komputerisasi dimana seorang anak lebih mengenal Pakemon, Dora emon atau memuja film-film produk Walt Disney, boneka Barbie, atau boneka Telletubis bahkan game-game yang seronok sekalipun yang dikemas dalam bentuk permainan anak dari pada mengenal rosul dan kisah-kisah para nabi. Tak perlu di salahkan peradaban yang telah mempromosikan produksinya namun akan lebih bagus jika tantangan jaman dihadapi dengan proaktif dimana ketika seorang perempuan dengan dukungan suami telah memilih rumah sebagai basis karier, itu berarti mempersiapkan suatu wawasan dan membuka cakrawala lebar akan segala kemungkinan yang bakal datang di jaman generasi selanjutnya.

Hal itu tentu tidak bisa dicapai dengan proses yang alami namun perlu pembelajaran sejak dini. Dalam bukunya Stephen R.Covey pernah memaparkan suatu kejadian yang menimpa sebuah keluarga dimana sang anak yang baru menginjak usia tujuh tahun telah menjadi penonton setia sajian pornografi di situs internet, inipun di peroleh dari kawan seusia anak tersebut dari hasil perambahan di dunia maya.

Atau penemuan The Ladies Home Journal Amerika bahwa pada umur 13 tahun 1 dari 12 anak bukan perawan lagi dan 45% anak laki-laki telah melakukan kegiatan seks bebas. Hal di atas bukan tidak mungkin terjadi di lingkungan terpencil di pelosok Indonesia. Di tanah air, kasus tindak kekerasan, tawuran, prostitusi di bawah umur, drug addiction menjadi sajian berita yang tak asing. Dengan demikian tantangan keluarga dalam mendidik anak sangatlah besar. Bekal mendidik generasi tidak hanya ditanggung oleh lembaga pendidikan atau lingkungan namun keluarga sangatlah menentukan. Dan peran ibu sangatlah besar, dan ini tidak cukup dengan kuantitas ibu berada bersama anak tapi kualitas pun sangat perlu. Ini terbukti dari banyak anak nakal hasil didikan dari ibu rumah tangga meski juga dari background ibu yang berkarier.Hingga sampai pada kesimpulan bahwa profesi orang tua atau ibu tidaklah menjamin keselamatan anak atau generasi yang bakal lahir dari keluarga tersebut. Keseriusan dalam mendidiklah yang menentukan selain hal itu ditunjang dengan bekal ilmu yang tidak sedikit baik wawasan psikologis,perkembangan teknologi, pemahaman terhadap trasformasi sosial yang ada dan pendidkan dasar beragama atau moral. Ada beberapa hal yang mungkin diabaikan sebagian perempuan atau laki-laki ketika mendidik suatu generasi bahwa semua itu ditangani dengan ala kadarnya tanpa perencanaan dan pemantauan serius hingga generasi yang dihasilkan pun jauh dari yang dicita-citakan Islam. Maka bila seorang perempuan telah konsis dengan pilihannya untuk menjadi ibu rumah tangga maka ini adalah karier pula yang perlu keseriusan dan ketekunan penuh, bukan inferiority. Karena rumah bukan terminal akhir bagi perempuan yang tidak berkarier di luar rumah, aktualisasi bisa berawal dari sini. Akankah generasi yang dididik dengan intensitas tinggi dari keberadaan seorang ibu di rumah, jauh lebih baik ditinjau dari segi kualitas moral dan kepribadian? atau hasil didikan seorang ibu yang menjadikan rumah sebagai profesi sambilan setelah karier di luar rumah lebih baik?

Mengendalikan roda rumah tangga, mendidik generasi yang baik dan berkualitas tentu membutuhkan SDM yang berkualitas unggul, yang akhirnya sampai pada firman Allah "Katakanlah tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya"(QS 17;84). Tak perlu ragu untuk mengatakan dengan mantap status perempuan atau istri bahwa ia berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Tentu dengan memberi dukungan moril dan spiritual sehingga profesi ini pun sejajar denga profesi-profesi lain agar lebih mmpunyai target yang jelas dan pencapaian yang matang. Wallahua’laam.

Mensinergikan Potensi Muslimah

Berangkat dari format bahwa Islam mendukung penuh perempuan untuk maju dengan memberi posisi mulia yang sejajar dengan laki-laki, plus dukungan berbagai pembuktian, maka pada langkah selanjutnya tidak ada hambatan dan kendala yang memaksa perempuan untuk menyembunyikan potensinya dalam berkiprah dan berpartisipasi di berbagai sektor kehidupan. Dalam suatu hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad, nabi Muhammad s.a.w. bersabda yang bisa disarikan maknanya, bahwa nabi melarang perempuan yang menyerupai laki-laki dalam bentuk dan penampilan lahiriah. Namun patut difahami bahwa pelarangan tersebut tidak berlaku pada upaya perempuan untuk menyerupai laki-laki dalam kecerdasan dan amar ma'ruf.
Tidak salah bahwa gerakan feminisme muncul ketika perempuan mulai tertindas, terampas hak asasi dan terpojokkan dari tatanan masyarakat yang "male dominated". Islam adalah pendukung gerakan feminisme karena dalam perjalanan pertama gerakan ini menuntut kesetaraan dan pemberian hak asasi setelah selama kurun waktu lama, perempuan hanya menjadi subordinasi laki-laki dan objek eksploitasi.

Dan landasan tuntutan ini menjadi titik kedatangan Islam di bumi Makkah. Meski dalam perkembangannya, fenomena yang ada memperluas aliran feminisme pada tatanan yang mengandung beragam tuntutan dan proses pencapaianya seperti feminisme liberal, radikal, sosialis, ecofeminisme, atau posmodern feminisme. Ekses pembengkakan aliran ini telah membuat jarak yang cukup berarti dari maksud pertama munculnya gerakan tersebut. Namun tidak perlu gusar bila dikatakan bahwa feminis adalah mereka yang memperjuangkan hak asasi perempuan dan ingin mengembalikan posisi perempuan pada kursi yang mulia, memerdekakan perempuan dari ketertindasan dan pengebirian potensi. Di sini feminis bisa seorang laki-laki atau perempuan sepanjang ia berjuang di sektor tersebut.

Allah berfirman "dan segala sesuatu, Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah"(QS 51;49 ). Yang bisa kita tangkap dari ayat tersebut adalah pesan agama agar manusia senantiasa menjaga sikap balance (imbang) dengan bukti penciptaan segala sesuatu berpasang-pasangan, miskin kaya, tinggi rendah, pintar bodoh, baik buruk, laki-laki perempuan dan sadar bahwa bumi, langit, beserta kehidupan di dalamnya tercipta untuk manusia tanpa memandang apakah ia perempuan atau laki-laki. Keseimbangan harus tercapai dengan kerjasama yang erat untuk mempertahankan kehidupan di bumi. Bila kita analogikan dalam konteks kekinian, berarti laki-laki dan perempuan menjadi penanggungjawab eksistensi peradaban karena esensi keduanya adalah manusia atau kholifah yang dihidupkan di muka bumi ini. Satu kehidupan sosial akan timpang jika individu yang terlibat di dalamnya hanyalah dari unsur yang sama. Namun iklim heterogen akan membuat kehidupan menjadi kaya perbedaan, sedang pada perbedaan itulah terletak suatu aset yang high valued (tinggi nilainya).

Kemudian, pada hakekatnya setiap individu mempunyai kemampuan yang berbeda dan tinggal bagaimana ia mengolah potensi dan menancapkan visi, kemudian menjadikannya suatu profesi. Sejalan dengan Alqur'an surat alIsraa' ayat 84 yang menyatakan bahwa tiap-tiap orang berbuat menurut keadaanya masing-masing, hanya Allah lah yang mengetahui jalan siapa yang paling benar. Itu berarti menjadi guru adalah profesi, dokter, karyawan, buruh, jurnalis, insinyur, arsitek, politikus, ekonom, ibu rumah tangga, pedagang, penulis dan lain sebagainya adalah juga beberapa profesi yang mulia.

Muslimah juga telah memperoleh hak mendapatkan pendidikan yang sejajar dengan laki-laki, sayangnya sering pada skala implementasi belum mendapatkan kesempatan untuk mengoptimalkan aset ilmu yang di peroleh untuk kemajuan lingkungan di mana ia berada. Jika rumah tangga adalah tanggungjawab perempuan semata dan bangunan masyarakat yang komplek adalah daerah kekuasaan laki-laki, maka dikotomi ini patut di robohkan. Mengapa? Karena di sinilah terjadi pemborosan sumber daya manusia dan penyia-nyiaan potensi yang seharusnya bisa dikembangkan di tengah masyarakat. Alasan jender tidak bisa dijadikan legitimasi dikeluarkanya larangan bagi perempuan untuk berkiprah di tengah masyarakat, karena dengan begitu justru terjadi pengebirian potensi yang seharusnya bisa disinergikan menjadi salah satu muara penting pencerahan di tengah masyarakat.

Muslimah dalam berbagai tingkatan juga mempunyai potensi dan kemampuan yang sama bahkan terkadang lebih dari pada laki-laki di beberapa sektor publik. Namun sayangnya karena lingkaran kultur dan pemahaman pesan agama yang tekstual, mereka sering enggan atau memilih tinggal di rumah daripada mensosialisasikan kapabilitas yang dimilikinya. Padahal banyak peluang yang bisa dimasuki oleh muslimah dengan potensi mereka.

Lalu bagaimana proses pensinergian potensi muslimah pada tataran praktis? Hingga tidak hanya sekedar teori dan bagaimana pula menjaga well-balance pada kehidupan berumah tangga disamping pengembangan potensi di luar lingkungan keluarga? Satu hal yang perlu diluruskan bahwa menjaga gawang keluarga, mendidik anak dan memperhatikan setiap perkembangan emosional dan pendidikannya, serta menjadi nahkoda di sektor domestik bukanlah harga mati tugas utama perempuan. Di mana tidak ada bergaining dalam proses mekanisme pencapaiannya. Bukankah situasi tiap orang berlainan yang menuntut strategi berlainan pula dalam menangani keadaan tertentu? Seorang ibu atau isteri pada satu waktu harus memperhatikan anak-anaknya 24 jam sehari selama 20 tahun usia anak tersebut. Atau melalui pola pendidikan di mana seorang ibu cukup memberi perhatian dan kontrol pada proses pendewasaan anak tersebut tanpa mencurahkan 20 tahun perhatian tetapi hanya pada masa awal pertumbuhan anak tersebut. Jika perbedaan ini diberlakukan pada semua keluarga atau perempuan, sementara situasi tingkat pendidikan dan tuntutan berkiprah di masyarakat sangat berlainan, maka kepincangan justru bermula dari sini. Seperti dalam prinsip The 7 Habits of Highly Effective Family pada habit ke 6 adalah proses sinergi. Artinya suatu kekekuatan dinamik yang dihasilkan dari korelasi antara satu bagian dengan bagian yang lain akan menghasilkan sesuatu yang baru. Kekuatan itu bukan berasal dari pengorbanan tetapi kemampuan memanage tantangan, dengan mengidentifikasikan kemampuan dan mengolah perbedaan hingga sampai pada kesimpulan prinsip "win-win".

Di sinilah kemampuan muslimah teruji, bagaimana ia bisa membaca lingkungan tempat kerja, mengatur keluarga, mendidik anak dan tetap mengoptimalisasikan potensi diri. Proses sinergi dalam kehidupan berumah tangga maupun dunia kerja bisa dianalogikan bagaikan keterkaitan kerja anggota badan, dimana di sana terdapat kerjasama erat antara kedua tangan, kepala, kaki, hati, otak dan lain-lain. Kekuatan akan muncul dengan jalinan kooperasi yang baik dan bagaimana keduanya menyambut perbedaan dan bersahabat dengan lingkungan kita berada. Bila proses sinergi keluarga ini berhasil maka pada tahapan selanjutnya sinergi potensi muslimah pun tidak banyak mengalami kesulitan. Karena keberhasilan proses ini juga tidak lepas dari seberapa besar ikatan emosi suami dan kerja sama yang terjalin diantara keduanya. Hal itu berupa kesadaran suami dengan potensi istri dan tidak menghalangi proses sosialisasi ilmu kepada publik dan bergabung dalam keterikatan kerja, keterlibatan dalam lingkungan dan aktualisasi dalam bentuk apapun jika alasan partisipasi ini adalah dalam rangka optimalisasi diri, apalagi jika proses kerja ini dalam rangka meringankan ekonomi keluarga. Kerja atau optimalisasi kapabilitas muslimah tidak lah selalu berasosiasi pada dunia kerja yang bersifat official dalam hitungan jam kerja yang ketat, tapi itu bisa saja berbentuk kerja sosial di LSM , bergabung dalam organisasi politik, kewanitaan, organisasi dakwah dan lain sebagainya. Yang sering terlupakan adalah jika optimalisasi ini sampai pada tingkat workaholic atau kerjamania, hingga muslimah juga lupa bahwa tujuan utama proses sinergi potensi ini adalah membumikan dan mensinergikan potensi untuk amar ma'ruf nahi mungkar.

Sering pada realisasinya, tugas mendidik anak dan memperhatikan keluarga terbengkalai, meskipun tanggungjawab keluarga dan mendidik anak adalah tanggungjawab bersama (suami dan isteri). Keluarga tetap nomor satu, lalu memprioritaskan diantara mana yang perlu di kedepankan lah yang patut menjadi pijakan, apa kelangsungan keluarga atau partisipasi di masyarakat atau tugas mencari nafkah, atau ketiganya bisa dilalui dalam waktu yang sama? Itu yang perlu menjadi pertimbangan, bukan dengan mis-uderstanding terhadap pesan agama tentang kedudukan muslimah yang bekerja atau yang mengaktualisasikan diri. Masyarakat di mana pun berada tentu sangat membutuhan ide dan pemikiran para wanita hingga terkadang perannya tidak tergantikan. Pada posisi inilah keterlibatan perempuan dalam masyarakat menjadi wajib hukumnya. Di bidang politik misalnya, muslimah harus ada di sana mewakili aspirasi kaum hawa. Di bidang kedokteran barisan dokter muslimah sangat di butuhkan. Bahkan signifikasi ini juga berlaku pada penanganan kasus-kasus prostitusi, kenakalan remaja, anak jalanan atau dakwah sesama kaum hawa sendiri.

Akhirnya kembali pada spirit ayat di atas bahwa bumi serta daya tarik di dalamnya diciptakan untuk memenuhi harapan dan satisfaction manusia tanpa ada bias jender di dalamnya. Maka jangkauan pelaksanaan itu bisa berati bahwa posisi kholifah fi-l-ardh itu mengindikasikan bahwa kiprah dan gerak muslimah sangatlah penting, setara dengan kedudukan kaum adam. Dan proyek memajukan dien ini akan terus menjadi harapan kosong bila ummat Islam terus menakar sisi kebenaran dan kesholihahan seorang isteri atau ibu dengan kepatuhannya dan tinggal diamnya di rumah sementara wawasan dan cakrawala keilmuanya sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas. Maka seyogyanyalah kita sejalan dengan Alqur'an sendiri yang selalu berupaya untuk merekonstruksi tatanan masyarakat yang paternalistik menuju bilateral demokratis.Yang menjunjung kebebasan berekspresi dan mengoptimalisasikan potensi dengan proses sinergi. Dari sinilah eliminasi pemborosan sumber daya manusia dimulai, menuju proses konstruksi yanglebih segar. Tentu saja proses ini masih harus mengalami jalan panjang (tadarruj fi tasyrii'), dengan harapan tidak timbul permasalahan baru karena kesalahan memahami pemikiran ini, karena tentu akan menginspirasikan kerancuan dalam implementasi sinergi potensi muslimah dan kelalaiannya pada tugas alaminya. Dukungan kaum laki-laki pada proses dinamisasi nilai dan pemahaman pesan agama sangat besar, artinya memberi kesempatan dan peluang pada kaum perempuan tidak akan mengurangi kualitas kelaki-lakian seseorang tetapi justru menghasilkan satu kolaborasi indah lii'lai kalimatillah. Wallahua'alam.

0 komentar:

Posting Komentar


ShoutMix chat widget