Resopa Temmangingngi Namalomo Naletei Pammase dewata...

TERKIKISNYA KEBUDAYAAN LOKAL

0 komentar
Setiap daerah di indonesia memiliki kebudayaan sendiri, dan setiap orang sangat menjunjung tinggi kebudayaan yang tertuang dalam tutur kata dan tingkah laku. seperti di beberapa daerah di sulawesi selatan dalam kelompok suku bugis, mereka menjunjung tinggi budaya siri' (malu). dimana setiap manusia dituntut untuk malu dalam bertingkah laku, hingga timbul rasa segan untuk berbuat hal-hal yang tidak sesuai dengan jati diri kita sebagai manusia yang utuh. namun ada beberapa daerah masyarakat bugis  yang sepertinya sudah melupakan budaya siri' yang merupakan jati diri masyarakat bugis, terbukti dengan menyebarnya Candoleng-doleng di beberapa daerah di sulawesi selatan, dimana perempuan yang merupakan cerminan seorang ibu rela memperlihatkan auratnya demi beberapa rupiah, bahkan membiarkan beberapa bagian vitalnya disentuh dengan saweran beberapa rupiah. pemerintah pun seakan tak ingin ambil pusing dengan semua hal ini, padahal ini adalah kehormatan daerah kita, kehormatan bangsa kita yang harus dijaga.

Kebudayaan lokal merupakan kebudayaan yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat adat, bahkan sangat diagung-agungkan. namun apa yang kita lihat sekarang sangat berbeda dengan apa yang kita pahami tentang kebudayaan lokal, bahkan kebudayaan itu sudah terkikis dan tergantikan oleh budaya asing yang sama sekali tidak kita pahami. anak-anak yang masih belia sudah tidak mengenal kebudayaan kita sendiri, sejak kecil mereka terbiasa dengan tontonan di tv yang sangat jauh menyimpang dari kebudayaan lokal. mereka mengikuti apa yang ada di tv tanpa menyaring terlebih dahulu apa yang bisa dan tidak boleh mereka ikuti.

Anak-anak dipaksa terlalu cepat dewasa dengan diperkenalkannya sejak dini apa yang belum dapat mereka cerna. jadi, mereka belum bisa menyaring apa yang benar dan apa yang salah, bisa dibilang mereka cuma ikut-ikutan. dan mereka selalu malu ketika tidak mengikuti perkembangan dari teman-temannya, katanya mereka bisa dibilang ketinggalan jaman.
Kebudayaan lokal yang merupakan sebuah warisan leluhur telah terinjak-injak oleh budaya asing, ter-eliminasi di kandang nya sendiri, dan terlupakan oleh para pewaris nya, bahkan banyak yang tak mengenal budaya nya sendiri. saatnya kita bangkit dari keterpurukan memperkenalkan kembali budaya kita yang telah terlupakan.  dan meninggalkan budaya asing yang sejatinya sangat tidak sesuai dengan budaya indonesia. kenapa kita mesti malu mengakui budaya sendiri, sedangkan orang asing saja mau berselisih untuk mengakui budaya kita dan memperkenalkannya kepada dunia sebagai budaya mereka. jadi, bukankah kita mestinya bangga dengan apa yang kita miliki. dan memperlihatkan kepada dunia inilah budayaku.

by colleng
dua pitue community

read more …

ASAL USUL ISLAM

0 komentar
Suatu agama, baik yang mengaku sebagai agama wahyu maupun tidak, tidak bisa lepas dari pengaruh situasi asal-usulnya yang kompleks. Adanya campur tangan Tuhan sekalipun, tidak bisa terlepas dari pengaruh-pengaruh ini. Teologi Islam, sebagaimana dinyatakan oleh Al-Qur'an, tidak mengenal konsep campur tangan Tuhan yang semena-mena, bahkan dalam teologi Asy'ariah sekalipun. Pernyataan Al-Qur'an dalam masalah ini sangat jelas. "Kamu tidak akan pernah menemukan perubahan apa pun pada sunnah Allah". Bahkan pahala dan siksa Tuhan, berbeda dengan teologi Calvinis, bukan atas dasar tindakan Tuhan yang semena-mena. Al-Qur'an menyatakan, "Tidak ada sesuatu pun bagi manusia, kecuali apa yang diupayakan". Tentu saja, petunjuk Allah (taufiq min Allah) tidak ditolak, tetapi petunjuk Allah itu, sepanjang perhatian teologi Al-Qur'an, tidaklah bersifat semena-mena. Taufiq (petunjuk Allah) dalam teologi Islam sesungguhnya merupakan potensi untuk bertindak yang diciptakan Tuhan, yang masih mempunyai kemungkinan dapat atau tidak dapat diaktualisasikan, karena manusia adalah "agen" yang bebas. 
Proses historis juga sangat diperlukan dalam Islam. Sejarah bukanlah mitos, bukan pula suatu proyek arbitrer yang sama sekali tidak mempunyai kausalitas sosial. Al-Qur'an memang mempunyai pendekatan teleologis sebagaimana kisah nabi-nabi Israel yang diceritakan dengan penggambaran yang jelas, tetapi kausalitas tidaklah diabaikan begitu saja. Kemurkaan Allah kepada suatu bangsa atau seseorang diberlakukan ketika mereka mengabaikan proses kausalitas sosial dan berbuat menyimpang dari sunnah-Nya, baik secara fisik (hukum alam) maupun moral (hukum-hukum etik yang mengacu pada hudud Allah dalam Al-Qur'an). Al-Qur'an menyatakan: "Telah banyak negeri yang Kuhancurkan ketika warganya melakukan kezaliman. Maka reruntuhannya menimpa atap-atapnya, dan bagaimana telaga dan gedung-gedung (mereka tinggalkan)." Dan lagi, "Dan banyak negeri yang aku biarkan, sementara warganya berbuat zalim, lalu setelah sampai waktunya, Aku kenakan siksa bagi mereka..." 
 
Dengan demikian kita melihat bahwa teologi Islam, sebagaimana dinyatakan Al-Qur'an, sama sekali tidak mengabaikan determinisme sejarah, tetapi sebaliknya, secara serius memperhatikan peristiwa sejarah serta pengaruh-pengaruhnya yang menentukan. Islam juga mencoba menanmkan kesadaran sejarah pada umatnya. Al-Qur'an berkata: "Apakah mereka tidak pernah melakukan penjelajahan di muka bumi? Mereka mempunyai hati yang dengannya mereka dapat memahami, dan mempunyai telinga yang dengannya mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah mata-hati yang ada di dalam dada." Apa yang dinyatakan secara jelas adalah bahwa kesadaran yang tepat diperlukan untuk memahami sesuatu dan mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa sejarah, dan bukan semata-mata persepsi inderawi yang dimiliki setiap orang. 
 
Sebelum kita membahas lebih lanjut asal-usul Islam, kiranya kita perlu memahami istilah "determinisme sejarah" dengan tepat. Hal ini tidak lain untuk menghindari kesalahpahaman. Istilah ini tidak menafikan lingkup yang sah bagi inisiatif manusia yang bagaimanapun sesuai dengan persepsi manusia tentang tujuan ilahiyah.
 
Menjelang dewasa, Nabi menemukan situasi yang sangat kacau di Mekkah, tempat Islam dilahirkan. Seorang yang berperilaku jujur, yang memperoleh gelar Al-Amin, tentulah sangat gelisah melihat situasi yang ada di hadapannya, dan mencari jalan keluarnya. Seorang yang sangat rendah hati tapi berhati dan berotak luar biasa cerdas, mulai mencari jalan keluar yang kemudian menuntunnya untuk menyendiri di gua Hira, di sebuah pegunungan berbatu di luar kota Mekkah. Muhammad, Nabi Islam itu, setelah melewati hari-hari meditasi dalam kesendiriannya di gua, akhirnya memperoleh cahaya wahyu Tuhan. Wahyu, secara essensial, berwatak religius, namun tetap menaruh perhatian pada situasi yang ada serta memiliki kesadaran sejarah. Ayat-ayat pertama Al-Qur'an yang diwahyukan kepada Nabi, sebagaimana nanti akan kita lihat, mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap situasi yang terjadi di Mekkah.

Lalu, bagaimana situasi Mekkah ketika itu? Mekkah sejak akhir abad kelima telah berkembang menjadi pusat perdagangan yang penting. "Mekkah menjadi makmur, karena lokasinya berada pada rute strategis dan menguntungkan dari Arabia Utara ke Arabia Selatan; Mekkah menjadi jalur utama perdagangan dan menjadi pusat pertemuan para pedagang dari kawasan Laut Tengah, Teluk Parsi, Laut Merah melalui Jeddah, bahkan dari Afrika. Dengan demikian Mekkah berkembang menjadi pusat keuangan dari kepentingan internasional yang besar. Karena itu, bersamaan dengan berkembangnya perdagangan dan peredaran uang, suatu pandangan hidup dan cara pandang baru pun muncul, meskipun belum dinyatakan secara sadar dan tepat. Kerja komersial tentu mempunyai logikanya sendiri dan mengarahkan masyarakat pada suatu cara hidup tertentu. Dinamika sosial dalam masyarakat Mekkah yang seperti itu mengarahkan pada suatu kehidupan yang tidak selaras dengan kehidupan masyarakat yang beralaskan norma-norma kesukuan. 

Pada pasir di sekitar Mekkah yang tak bersahabat membuat beberapa suku merasa tenang hidup di Mekkah. Namun, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi perdagangan yang sangat cepat, biaya kehidupan di Mekkah menjadi masalah baru bagi suku-suku itu. Orang-orang Baduy itu mempunyai cara pandang dan etika kesukuan tertentu, misalnya watak egalitarian. Mereka terbiasa bebas dari semua bentuk tanggungjawab kecuali sebatas apa yang menyangkut suku mereka. Suku-suku padang pasir itu hidup nomadik, karena itu tidak banyak mengembangkan tradisi pemilikan pribadi kecuali sebatas hewan peliharaan dan persenjataan ringan. Kebutuhan-kebutuhan mereka pun sangat sederhana sekedar untuk melangsungkan kehidupan dan ditandai tidak adanya ekonomi uang (
cash economy). Oleh karena itu, masalah akumulasi dan pemusatan kekayaan, tidak muncul.

Di satu sisi, masyarakat pedagang (yang berdasar pada sirkulasi produk, bukan pada produksinya), tergantung pada perluasan ekonomi uang. Masyarakat ini mengembangkan lembaga-lembaga pemilikan pribadi, memperbanyak keuntungan, menumuhkan disparitas ekonomi dan pemusatan kekayaan. Etika masyarakat perdagangan itu tentu saja bertabrakan dengan etika masyarakat kesukuan. Kebangkrutan sosial di Mekkah, sesungguhnya berakar pada konflik-konflik ini. Karena cepatnya perkembangan operasi perdagangan, beberapa pedagang yang memiliki keahlian yang berasal dari berbagai klan dan suku, terus menerus memperbanyak kekayaan pribadinya. Bahkan mereka membentuk korporasi bisnis antar-suku dan menerapkan monopoli pada kawasan bisnis tertentu di tempat asal mereka. Orang-orang lemah dan tersingkir dari persaingan bebas ini mencoba membentuk asosiasi yang mereka sebut Hilf al-Fudul (Liga Orang-orang Tulus).

Nabi tergabung dalam Liga ini dan selalu merasa bangga dengan persekutuannya dengan Liga tersebut. Berbagai penjelasan telah ditawarkan untuk pembentukan Liga ini.

Demikian pula orang-orang miskin, lemah, terlantar dan tak terlindungi yang terjebak dalam proses sosial yang tak terelakkan itu merebak di pinggiran kota perdagangan Mekkah. Dalam struktur masyarakat kesukuan, hancurnya struktur masyarakat kesukuan di Mekkah bertanggungjawab terhadap terbukanya pintu ketegangan sosial. Sementara itu, monopoli perdagangan sedang muncul di Mekkah.

Agama apapun, sebagaimana telah dinyatakan di muka, membawa ciri-ciri asal-usul kelahirannya, sekalipun agama itu agama wahyu. Ajaran Islam sebagaimana dinyatakan di dalam Al-Qur'an, tanpa pengecualian juga terkena hukum ini. Tuhan menjanjikan dalam Al-Qur'an untuk mengutus seorang pembimbing atau seorang pemberi peringatan ketika suatu masyarakat menghadapi krisis sosial dan krisis moral. Muhammad dipilih sebagai instrumen kemahabijaksanaan Tuhan untuk membimbing dan membebaskan rakyat Arabia dari krisis moral dan sosial yang lahir dari penumpukkan kekayaan yang berlebih-lebihan sehingga menyebabkan kebangkrutan sosial. Islam bangkit dalam
setting sosial Mekkah, sebagai sebuah gerakan keagamaan, namun lebh dari itu, ia sesungguhnya sebuah gerakan transformasi dengan implikasi sosial ekonomi yang sangat mendalam. Islam, dengan kata lain, menjadi tantangan serius bagi kaum monopolis Mekkah. Harus dicatat, kaum hartawan Mekkah, bukan tidak mau menerima ajaran-ajaran keagamaan Nabi--sebatas ajaran-ajaran tentang penyembahan kepada satu Tuhan (Tauhid). Hal itu bukanlah sesuatu yang merisaukan mereka. Yang merisaukan mereka justru implikasi-implikasi sosial-ekonomi dari risalah Nabi itu. Seperti diketahui, di sana telah berkembang kepentingan ekonomi perdagangan yang sangat kuat. Mereka semuanya merasakan bahwa di dalam risalah Nabi terdapat suatu yang mengancam kepentingan mereka, yakni kepentingan akumulasi kekayaan yang selama ini berjalan tanpa rintangan. Namun sekarang ayat-ayat Al-Qur'an mencela penumpukan kekayaan itu. Salah satu ayat yang diturunkan di Mekkah pada awal-awal Islam mengatakan: "Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa harta itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthomah. Dan tahukan kamu Huthomah itu? (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke ulu hati." Fakta bahwa Islam lebih dari sekedar sebuah agama formal, tetapi juga risalah yang agung bagi transformasi sosial dan tantangan bagi kepentingan-kepentingan pribadi, dibuktikan oleh penekanannya pada shalat dan zakat. Dalam kebanyakan ayat Al-Qur'an, shalat tidak pernah disebut tanpa diiringi dengan zakat. Zakat, seperti digariskan Al-Qur'an, dimaksudkan untuk distribusi kekayaan kepada fakir dan miskin, untuk membebaskan budak-budak, membayar hutang mereka yang berhutang dan memberikan kemudahan bagi ibnu as-sabil (yang secara harfiah diartikan sebagai infrastruktur bagi orang-orang yang berpergian). Di Arab ketika itu, langkah-langkah seperti itu dirasakan sebagai hal baru yang sangat revolusioner, karena itu masyarakat bisnis Mekkah, yang merasa kepentingannya terancam melakukan perlawanan terhadap Nabi. Signifikansi transformatif dari ajaran Islam, lebih lanjut dibuktikan oleh kenyataan bahwa ajaran-ajaran itu lahir di dalam polarisasi kekuatan-kekuatan sosial. Budak-budak dan orang-orang yang tidak pandai berdagang di satu pihak, dan pemuda-pemuda radikal di pihak lain, bersatu mendukung Nabi. Orang-orang kafir yang menentang risalah Nabi merasakan hal itu sebagai pukulan keras bagi kepentingan mereka. Masalah ini diisyaratkan dalam Al-Qur'an ketika ia mengatakan: "Dan kami tidak mengutus pada suatu negeri seorang pemberi peringatan, melainkan orang-orang yang hidup mewah dinegeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya."Tapi Al-Qur'an memperingatkan orang-orang kaya ini: "Dan sekali-kali bukanlah harta dan (bukan) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepadaKu sedikitpun; tetapi orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh." Dengan demikian sangat jelas bahwa orang-orang kafir dalam arti yang sesungguhnya adalah orang-orang yang menumpuk kekayaan dan menghidupkan terus menerus ketidakadilan serta merintangi upaya-upaya menegakkan keadilan dalam masyarakat. Keadilan, sebagaimana nanti akan kita lihat, merupakan salah satu aspek penting dalam ajaran Islam di bidang ekonomi. 

  Karena memperluas jaringan perdagangan di tingkat internasional, Mekkah siap berada di puncak revolusi sosial. Namun, hingga munculnya Islam, tidak ada pemimpin terkemuka yang mampu mengartikulasikan teori yang sistematis dan masuk akal untuk memajukan masyarakat Mekkah, baik pada dataran spiritual maupun pada dataran fisik. Muhammad, adalah orang pertama yang memikirkan proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat Mekkah secara serius. Tetapi, visi dan pemikiran Nabi dalam mengembangkan ajaran-ajarannya itu tidak semata-mata ditentukan oleh situasi Mekkah saja. Ajaran-ajarannya, yang diekspresikan dalam idiom-idiom religio-spiritual, sangatlah universal dalam pelaksanaannya dan menimbulkan restrukturisasi masyarakat secara radikal. Kita akan membahas masalah ini secara detail, agar kita mampu memahami kekacauan dunia Islam saat ini. Sebagaimana yang dikemukakan dengan tepat oleh Muhammad Ahmad Khalfallah, pada dasarnya Nabi Muhammad adalah seorang revolusioner dalam ucapan maupun dalam perbuatannya. Ia bekerja demi perubahan radikal pada struktur masyarakat sosial pada masanya.
Ia mengabaikan kemapanan di kotanya, yang telah dikuasai oleh orang-orang kaya dan penguasa Mekkah. Rumusan yang didakwahkan, La ilaha illa Allah, dengan sendirinya sangat revolusioner dalam implikasi sosial-ekonominya. Kekuatan revolusioner manapun, pertama-tama haruslah merombak status-quo, sebelum alternatif lainnya bisa berfungsi. Dengan mendakwahkan La ilaha illa Allah, Nabi Muhammad tidak hanya menolak berhala-hala yang dipasang di Ka'bah, tetapi juga menolak untuk mengakui otoritas kelompok kepentingan yang berkuasa dan struktur sosial yang ada pada masanya. Orang-orang kafir Mekkah lebih merasa terusik oleh implikasi-implikasi revolusioner teologi Muhammad ketimbang dakwahnya yang menantang penyembahan berhala. Semua tokoh penentangnya berasal dari kelas pedagang kaya yang merasa terancam otoritas dan dominasi mereka. Ancaman itu dirasakan begitu serius sehingga mereka memutuskan untuk menyiksa para pengikut Muhammad kapan dan di manapun. Karena alasan tersebutlah, Nabi memerintahkan para pengikutnya untuk hijrah ke Medinah, tempat di mana dia memperoleh dukungan dan jaminan tertentu. Bahkan sekelompok pengikutnya ada yang sudah lebih dulu hijrah ke Ethiopia. Nabi Muhammad, dengan inspirasi wahyu ilahiyah menurut formulasi teologis, mengajukan sebuah alternatif tatanan sosial yang adil dan tidak eksploitatif serta menentang penumpukkan kekayaan di tangan segelintir orang (oligarki). Memang rumusan Al-Qur'an lebih bersifat teologis, tidak sosiologis, seperti pada umumnya sistem berpikir yang dirumuskan pada masa kenabian, tetapi semua orang akan melihat betapa rumusan-rumusan itu mempunyai implikasi-implikasi sosial yang sangat besar. Distribusi kekayaan yang berlebih kepada kelompok masyarakat yang lemah diistilahkan dengan infaq fi sabilillah. Al-Qur'an mengutuk orang-orang yang menimbun emas dan perak, tidak menafkahkannya di jalan Allah serta meminta Nabi untuk memperingatkan mereka, bahwa hukuman yang berat menunggu mereka.Dengan struktur ekonomi yang berlaku dalam masyarakat ketika itu, maka satu-satunya jalan untuk memberikan perlindungan bagi orang-orang yang lemah adalah memberi tanggung jawab kepada orang-orang kaya untuk membagikan kelebihan kekayaan di jalan Allah. Haruslah diingat, bahwa ketika revolusi sosial didakwahkan melalui konsep-konsep religius, maka terma yang demikian itu pasti digunakan. Namun untuk mempertahankan keutuhan ruh dari ajaran-ajaran teologis ini, maka diskursus teologis ini harus ditafsirkan kembali dalam terma sosial, politik dan ekonomi modern. Ajakan teologis untuk membagikan kelebihan kekayaan di jalan Allah, dalam terma sosial modern, ditransformasikan menjadi penciptaan institusi-institusi yang tepat misalnya pemilikan alat-alat produksi oleh masyarakat, penarikan pajak melalui negara untuk pembiayaan berbagai proyek kesejahteraan rakyat, dan institusi-institusi lain yang mampu memeratakan kekayaan di dalam masyarakat. Nabi tidak pernah berkeinginan untuk memutarbalik roda sejarah. Ia sangat keras mengecam praktek riba yang eksploitatif, namun sama sekali tidak mengharamkan laba yang diperlukan dalam masyarakat perdagangan. Hanya saja ia memberi batasan-batasan tertentu untuk menghilangkan praktek-praktek pemerasan dan penghisapan yang dilakukan oleh para pedagang yang serakah dan tidak jujur. Menghilangkan sama sekali laba akan membuat surut masyarakat komersial yang sedang berkembang. Tentu saja, semua praktek licik yang dianggap curang atau mengambil keuntungan yang tak semestinya dari seseorang sangat dikutuk. Ibnu Hazm, seorang ahli hukum terkenal menyatakan prinsip transaksi terbuka:
  "Penjualan suatu barang yang fakta-faktanya tidak diketahui oleh penjual tidak dibenarkan, sekalipun diketahui oleh pembeli; demikian pula untuk komoditas yang tidak jelas bagi pembeli meskipun penjual mengetahuinya. Transaksi barang-barang yang kedua belah pihak (penjual dan pembeli) tidak mengetahui fakta-faktanya, juga tidak diperbolehkan (tidak sah)."

Dalam situasi tertentu, bahkan di negara-negara sosialis sekali pun, perdagangan swasta, perusahaan bahkan produksi tetap diperbolehkan pada skala yang terbatas, selama tidak menimbulkan eksploitasi-eksploitasi terhadap orang lain. Seseorang tidak bisa kaku dalam masalah-masalah seperti ini. Sangat bergantung pada situasi tempat kita berurusan. Nabi sadar benar akan situasi dan idealismenya selalu mempunyai dimensi historis. Karena untuk berhasil, suatu revolusi sosial harus memiliki kesadaran sejarah dan harus merespon kebutuhan-kebutuhan yang secara sosial dirasakan oleh orang-orang yang terkena revolusi sosial tersebut. Konsep riba tersebut (biasanya diterjemahkan sebagai bunga) juga harus dipahami dalam konteks sejarah yang tepat. Motif nyata untuk melarang riba (persoalan ini akan dibicarakan secara rinci di bab lain) adalah untuk mengakhiri eksploitasi terhadap orang-orang yang tidak berdaya, dan bukan merupakan larangan total terhadap semua bentuk bunga. Konsep riba, menurut saya, juga harus termasuk keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari 'eksploitasi' tenaga kerja, atau keuntungan dari penanaman modal yang mengabaikan kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat. 


Al-Qur’an, di samping mendakwahkan cita-cita Islam, tidak pernah mengabaikan konteks situasinya dan, sebenarnya hal inilah yang menjadi rahasia keberhasilannya. Misalnya ia tidak mengambil pendekatan kelas dengan jelas, karena pendekatan itu hampir-hampir tidak akan berfungsi dalam situasi sejarah berikutnya. Al-Qur’an membenci perbudakan, tapi tidak segera menghapusnya begitu saja. Perbudakan bukan merupakan bagian integral dari sistem ekonomi di Mekkah. Meskipun begitu, perbudakan tetap menjadi masalah yang sangat penting. Terlepas dari dukungan biaya yang bisa diperoleh Nabi dari tokoh-tokoh penting di Mekkah dan Medinah, penghapusan perbudakan bisa menimbulkan masalah baru yang tak terpecahkan pada masa permulaan Islam.
Nabi menempuh cara-cara gradual untuk menghapuskan perbudakan. Nabi juga memberikan hak-hak budak yang sebelumnya terabaikan. Namun, sayangnya konteks sejarah belum matang untuk pembebasan budak secara total, dan karenanya, alih-alih melemah, lembaga perbudakan malah semakin menguat setelah Nabi wafat. Setelah imperium Byzantium dan Persia berhasil ditaklukkan, Islam berubah menjadi feodal (feudalised) dan menjadi kekuatan yang eksploitatif yang terlembaga selama tiga dekade serta telah kehilangan elan pembebasannya. Para ahli hukum Islam berhadapan dengan situasi kesejarahan yang konkrit, melakukan kodifikasi hukum syari’ah di bawah pengaruh atmosfir tersebut, dan dengan demikian mereka juga kehilangan elan pembebasan Islam-awal. “Kerusakan berat” pada elan pembebasan dan progresivitas Islam ini telah ditimbulkan oleh para ahli teologi dan ahli hukum Islam dengan cara mengaburkan apa yang diperintah oleh batasan-batasan situasional. Generasi berikutnya mengikuti mereka secara tidak kritis dan dengan demikian terciptalah suatu tatanan syari’ah yang kaku dan tidak dapat diubah. Sementara itu, ulama masa kini--dengan semangat tidak kritis yang sama--menganggap hukum-hukum yang dirumuskan oleh ulama terdahulu sama dengan kebijaksanaan Ilahi dan mempunyai validitas abadi. Mereka juga mengabaikan fakta bahwa kebijaksanaan Ilahiyah bersifat transendental, melampaui batas-batas ruang dan waktu. Salah satu fungsi Tuhan yang essensial adalah rububiyyah yang didefinisikan oleh Imam Raghib Asfahani sebagai membimbing ciptaan-Nya melalui tahap-tahap evolusi yang berbeda ke arah kesempurnaan. Jika kebijaksanaan ilahiyah harus tetap berlaku, para ulama mestinya berupaya terus menerus untuk memecahkan ketegangan antara yang aktual dan yang mungkin, yang nyata dan yang ideal, yang sementara dan yang abadi. Masalah lain yang juga selalu disalahpahami adalah makna jihad dalam Islam. Selama ini jihad diartikan sebagai persetujuan Islam untuk menggunakan cara kekerasan. Kesan, bahwa Islam mengabsahkan cara kekerasan dalam mencapai tujuannya terus berlangsung. Agama tidak dapat disebarkan dengan pedang. Ia tersebar karena kesadaran. Orang harus kembali pada asal-usul Islam jika masalah ini ingin dipahami dalam konteks yang tepat.
Pada periode permulaan Islam di Mekkah, kaum muslimin merupakan minoritas kecil yang berhadapan dengan pedagang-pedagang kaya Mekkah yang mapan dan kuat. Mereka hampir-hampir tidak bisa mengangkat senjata menghadapi penantang-penantangnya yang kuat itu. Dalam menghadapi penindasan seperti itu, satu-satunya jalan yang mereka tempuh adalah pindah ke suatu negeri yang lebih aman dan hal ini dilakukan oleh kaum Muslimin setelah mendapat perintah Nabi. Mula-mula serombongan kaum Muslimin hijrah ke Ethiopia dan rombongan berikutnya hijrah ke Medinah. Kemudian Nabi juga ikut bergabung. Beberapa orang dari suku Aus dan Khazraj bergabung dengan Nabi dan di sana nabi menyusun kekuatan. Di Medinah juga terdapat beberapa suku Yahudi yang cukup berpengaruh. Nabi membuat suatu kesepakatan dengan berbagai suku, termasuk kaum Yahudi, dalam upayanya membentuk sebuah masyarakat yang ohesif.
Di sini, kita harus membedakan antara perang untuk menyebarkan agama dan perang sebagai sekedar cara untuk mempertahankan diri ketika berhadapan dengan musuh yang militan. Sejauh dikaitkan dengan kategori yang pertama, Islam justru tidak percaya pada penggunaan kekerasan. Sikap Al-Qur’an jelas: La Ikraha fi al-Din (tidak ada paksaan dalam agama), dan selanjutnya ia menyatakan: “Katakanlah hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah dan engkau tidak akan menyembah apa yang aku sembah. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Tidak perlu orang dipaksa untuk menerima suatu agama. Konversi agama mestilah dibebaskan dari ancaman dan pengaruh. Menurut Al-Qur’an, Tuhan telah membuat jelas jalan yang lurus dan membedakannya dengan jalan yang salah. Adalah hak seseorang untuk mengikuti jalan yang benar atau mengikuti jalan yang salah. “Seseorang boleh melanjutkan mengikuti thagut, atau percaya kepada Tuhan”.Tidak ada paksaan sama sekali.
Masalahnya menjadi lain, bila seseorang disiksa, disakiti atau diserang. Islam memperbolehkan penggunaan kekerasan atau perang hanya dalam kasus-kasus seperti itu. Dr. Khalfallah tetap berpendapat bahwa orang Islam tidak pernah memaksa untuk membangun kekuasaan atas orang lain atau untuk merampas kemerdekaannya, atau untuk menganiaya orang lain, untuk menumpahkan darah orang lain, atau merebut hak orang lain, atau mengeksploitasi kekayaan orang lain, atau menindas orang lain. Ia selanjutnya mengatakan, dengan mengutip Muhammad Abduh, bahwa memaksa orang lain untuk memeluk suatu agama tidak diperbolehkan, begitu pula orang lain tidak boleh memaksa seseorang untuk meninggalkan agama yang telah dipeluknya. Ketika seseorang dianiaya atau diusir dari rumahnya sendiri, maka ia harus melawan tirani itu. Menurut etik Al-Qur’an, melindungi orang-orang yang tertindas adalah suatu keharusan. Al-Qur’an berkata:
  “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, perempuan dan anak-anak yang semuanya berdo’a: Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang zalim penduduknya dan berilah
kami perlindungan dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong di sisi-Mu”.
Juga dikatakan:
  “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah lagi, dan supaya agama itu semata-mata bagi Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah maha melihat atas apa yang mereka kerjakan.
 Dengan demikian jelas, bahwa berjuang (berperang) diizinkan dalam Al-Qur’an tidak untuk memaksa seseorang untuk memeluk Islam, tapi untuk mengakhiri penganiayaan dan untuk melindungi orang-orang lemah dari penindasan orang-orang kuat.
Kajian yang seksama atas Al-Qur’an juga menunjukkan, bahwa Al-Qur’an berpihak pada posisi orang-orang yang lemah dalam menghadapi orang-orang yang kuat. Term yang digunakan Al-Qur’an bagi mereka adalah mustadh’afin (orang-orang yang dilemahkan) dan mustakbirin (orang-orang yang sombong). Semua Nabi Israel digambarkan di dalam Al-Qur’an sebagai pembela mustadh’afin menghadapi mustakbirin, yakni orang-orang kaya dan penguasa suatu negeri. Karena itu, nabi Israel terkemuka, Musa, digambarkan sebagai pembebas orang-orang yang tertindas (bangsa Israel) dari penindasan Fir’aun (mustakbirin). Simpati Tuhan pun ditujukan kepada orang-orang yang tertindas itu. Tuhan berfirman dalam Al-Qur’an: "Dan Kami hendak memberi karunia bagi orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi." Inilah konsep Al-Qur’an tentang kepemimpinan bagi orang tertindas.
Pertarungan antara mustadh’afin dan mustakbirin itu akan terus berlangsung, hingga Din Allah yang berbasis pada Tauhid menyatukan semua rakyat (tanpa perbedaan lagi antara mustadh’afin dan mustakbirin, orang-orang yang menindas dan orang-orang yang tertindas, kaya-miskin) sehingga menjadi suatu masyarakat “tanpa kelas”. Dari perspektif ini jelaslah bahwa Al-Qur’an menghadirkan suatu teologi pembebas dan dengan demikian membuat teologi yang sebelumnya mengabdi kepada kelompok penguasa yang eksploitatif menjadi teologi pembebasan. Sayangnya, Islam dalam fase-fase berikutnya, justru mendukung kemapanan itu. Tugas generasi baru Islamlah untuk merekonstruksi lagi teologi Islam revolusioner-transformatif dan membebaskan itu.***

read more …

HAKIKAT CINTA

0 komentar
Cinta laksana air surgawi yang tertuang dalam cawan emas jiwa
Kemudian mengalir basahi bumi bukti ketundukannya
Laksana hymne puji-pujian ia mendakwa
Kemudian menyatakan pengakuan dan kepasrahan padanya
Bukit terjal berbatu, lembah gelap nan licin
Padang gersang membakar, sungai deras menghempas
Demikian tak peduli ia menyusur tuk diikuti

Ia datang untuk dirinya, bukan untukmu
Engkau hanyalah pelayan baginya, bukan majikannya
Ia ada mengadakan dirinya, bukan kau adakan
Engkau hanyalah bukti keberadaannya, bukan ketiadaannya
Ia datang untuk memilikimu, bukan kau miliki
Engkau hanyalah miliknya, bukan milikmu

Ia datang tuk menaklukkan jiwa-jiwa yang angkuh
Runtuhkan tembok kesombongan
Cengkeram jiwa dengan kelembutan sayapnya
Ia hanya ingin menampakkan adanya
Dengan menyatukan dua jiwa
Yang terpisah jiwa raga ruang dan waktu

Bila kau paksa ia, tentulah ia akan menjauh
Karena ia adalah kerelaan
Bila kau mengikat ia, tentulah ia akan berontak
Karena ia adalah kemerdekaan

Biarkanlah ia apa adanya
Tunjukkan pelangi rupanya
Tampakkan kecemerlangan wajahnya
Rasakan kesejukan sentuhannya
Hingga kau lupa pada dirimu
Sesungguhnya ia menempamu, tuk dijadikan persembahan di altarnya
Dan belati yang ia sembunyikan dibawah sayapnya akan menusukmu

Bahwa dibalik madunya tersimpan arak memabukkan
Ia memberimu kebahagiaan yang tinggi
Sebagaimana ia memberimu kepedihan yang dalam
Menerbangkanmu hingga keawan
Sebagaimana menenggelamkanmu hingga kedasar
Terimalah ia dengan keikhlasan, karena hanya itu harapnya

read more …

KEBUDAYAAN DALAM PERSPEKTIF TEORI SOSIAL

0 komentar
PENGERTIAN

Tidak ada istilah yang penggunaannya sedemikian longgar, serta pengertiannya pun sedemikian berganda (ambiguous) selain istilah 'kebudayaan'. Mulai untuk cakupan pengertian yang sempit hingga cakupan yang sangat luar biasa luas. Luas cakupan itu tidak hanya terjadi dalam penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari, namun juga penggunaannya sebagai istilah dalam wacana ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan sosial. Kata 'kebudayaan' berasal dari bahasa sanksekerta Buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata Buddhi yang berarti akal atau budi. Dengan demikian kebu-dayaan dapat diartikan sebagai hal-ha1 yang berkenaan dengan budi atau akal. Kata kebudayaan sendiri di dalam wacana ilmu pengetahuan di Indonesia merupakan upaya mencari padanan kata culture dalam bahasa Inggris. Sedangkan 'culture' adalah berasal dari bahasa Latin yaitu 'colere' yang berarti bercocok tanam. 'Culture‘ diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan merubah alam. Hingga kinipun kata 'cul-ture' tetap juga digunakan dalam dunia pertanian, misalnya 'agriculture' untuk menyebut ilmu-ilmu pertanian, 'monoculture' untuk menyebut pertanian yang terdiri dari satu jenis tanaman.



Penggunaan kata 'culture' yang semula berada di dunia pertanian itu lantas disublimasikan sehigga merambah ke dalam wilayah pengertian yang jauh lebih luas. Kenapa Hal itu bisa terjadi?. Tampaknya terkait dengan asal-muasal perkembangan kebudayaan itu sendiri yang diduga pertama-tama berurat-berakar dari dunia pertanian. Realitas itu bisa dijelaskan dengan mengacu kepada teori sejarah 'challenge and response' dari Arnold Toynbee. Tantangan pertama yang menuntut respon manusia, yang memaksa manusia harus menggerakkan baling-baling akal budinya adalah keharusan untuk mempertahankan hidup. Terutama harus makan. Manusia merespon tantangan itu dengan memuat ide, nilai, norma-norma dan peralatan-peralatan yang berkaitan dengan pertanian. Karena pertanianlah sebagai sumber mata pencaharian manusia. Jadi secara hipotetik, dapat dikatakan bahwa pertanian adalah awal manusia berbudaya.



Sebagai obyek studi, semula antropologilah yang dipandang sebagai 'pemilik' wilayah studi kebudayaan. Namun pada perkembangan lebih lanjut, antropolgi tampaknya tidak mungkin memonopoli bidang ini, sebab pada kenyatannya wilayah studi ini juga berhimpitan dengan kawasan studi disiplin ilmu yang lain. Sosiologi misalnya. Hal itu bisa dimaklumi lantaran manusia adalah 'obyek m ateria' dari semua disiplin ilmu sosial. Sekalipun sosiologi memusatkan perhatian terhadap masyarakat, namun disadari bahwa masyarakat itu menjadi ada lantaran adanya kebudayaan. Keduanya bukan hanya berkoeksistensi namun juga berintegrasi. Masyarakat memproduksi kebudayaan sekaligus sebagai pengguna kebudayaan itu untuk bereksistensi. Itulah sebabnya, dalam studi sosiologi samasekali tidak mungkin mengabaikan aspek kebudayaan. Pandangan semacam ini setidaknya dikemukakan oleh para penganut diterminisme kebudayaan seperti antropolog Melville J. Herkovits dan Bronislaw Malinowski ketika menyatakan bahwasegala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan keberadaannya oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu.



Definisi klasik mengenai kebudayaan yang hingga kini menjadi sumber rujukan adalah dikemukakan oleh E.B. Tylor seorang antropolog terkemuka, dalam bukunya Primitive Culture, yang terbit tahun 1924:2 "Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat” Dalam perpektif sosiologi, kebudayaan sebagaimana dikemukakan oleh Alvin L. Bertrand, adalah segala pandangan hidup yang dipelajari dan diperoleh oleh anggota-anggota suatu masyarakat. Termasuk di dalam kebudayaan adalah: segala bentuk bangunan, peralatan, dan bentuk-bentuk pisik yang lain; di samping. teknik-teknik, lembaga masyarakat, sikap, keyakinan, motivasi serta sistem nilai yang diberlakukan pada kelompok



Definisi tersebut mewakili pandangan yang melihat kebudayaan sebagai pemilik wilayah cakupan yang amat luas sekaligus memandang kebudayaan sebagai system besar, fungsional dan menjadi penentu terhadap seluruh aspek kehidupan sosial. Di sini, kebudayaan mempunyai peluang besar untuk lebih bersifat massif. Kebudayaan adalah tercermin dalam realitas apa adanya di masyarakat. Sehingga kebudayaan adalah makna, nilai, adat, ide dan simbol yang relatif. Sedang kebudayaan dalam pengertian yang sempit, adalah ia memiliki kandungan spiritual dan intelektual yang tinggi. Karena itu ia menjadi elitis, adi luhung, berstandar tertinggi. Ia lebih merupakan suatu yang seharusnya. Kebudayaan dalam pengertian luas lebih mewakili pandangan bahwa kebudayaan itu adalah kenyataan obyektif. Sehingga kenyataan budaya itu bisa ditemukan di dalam institusi-institusi dan tradisi-tradisi. Sedang yang melihat kebudayaan dalam arti sempit mewakili pandangan bahwa bagaimanapun kebudayaan adalah merupakan kenyataan subyektif. Ia adalah produk dari tafsiran pribadi-pribadi. Bertrand lebih jauh mencoba memilah antara masyarakat dengan kebudayaan. Ia melukiskan bahwa masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang terorganisasi secara mantap untuk memelihara keadaan yang diperlukan untuk hidup bersama secara harmonis. Suatu masyarakat bisa berfungsi lantaran anggota-anggotanya menyepakati aturan-aturan tertentu. Aturan-aturan dengan segala derivatnya inilah dalam pengetian yang lebih umum disebut kebudayaan suatu kelompok masyarakat.



Dengan demikian suatu kebudayaan tidak bisa eksis tanpa suatu masyarakat, begitu juga sebaliknya. Namun bagaimanapun, secara teoritis, evolusi budaya dapat dipelajari secara tersendiri (dalam antropologi) begitu pula perkembangan suatu masyarakat (dalam sosiologi). Paper ini akan membahas kebudayaan dalam perpektif sosiologi. Namun tidak melibatkan seluruh pandangan dari aliran yang ada didalam sosiologi. Di samping itu, lantaran begitu dekatnya bidang kebudayaan ini dengan disiplin antropologi menyebabkan pembahasan ini juga tidak bisa lepas sama sekali dari demensi antro-pologis. Malahan kenyataan yang tidak mungkin dihindari itu diharapkan akan membuat pembahasaan menjadi lebih kaya warna-warni di dalam segala keterbatasan. Pembahasan dimulai dari perdebatan klasik antara pandangan Marxian dengan Weberian, yang dipaparkan dengan amat singkat oleh karena itu sebetulnya sangat tidak memadai. Kemudian akan kita soroti pandangan-pandangan kaum revisonis atas dua aliran besar tersebut, dan beberapa teoritisi kotemporer.



Adalah buku "Modern Sociological Theory" yang ditulis oleh Malcolm Waters, 3-M akan dijadikan rujukan utama tulisan ini. Khususnya bagian VI yang membahas mengenai kebudayaan dan ideologi. Guna memperkaya dan memperoleh bahan perbandingan, beberapa buku sosiologi dan antropologi juga digunakan sebagai bahan rujukan dalam tulisan ini.



BENTUK-BENTUK KEBUDAYAAN

Sesungguhnya banyak cara untuk mengklasifikasikankebudayaan. Di kalangan sosiolog umumnya sepakat bahwa kandungan kebudayaan pada dasarnya dapat dibedakan dalam dua komponen yaitu material culture dan nonmaterial culture 4. Untuk istilah yang pertama tampaknya semuanya sepakat, sedangkan untuk yang kedua, ada pula yang menyebut immaterial culture. Bertrand mem,beri pengertian 'material culture', sebagai: "... a culture includes those things Which men have created and use which have a tangible forms" (jenis kebudayaan dimana orang telah menciptakan dan menggunakan ciptaanya itu untuk memiliki bentuk yang berwujud). Sedangkan 'nonmaterial culture' sebagai: "all those creations of man with he uses to explain and guide his actions, but with are not found except in his mind" (segala bikinan manusia yang ia gunakan untuk menyatakan dan membimbing tindakannya, tetapi bikinannya itu tidak bisa didapati kecuali di dalam pikirannya saja



Adapun Selo Soemardjan, sosiolog paling terkemuka di Indonesia, merumuskan kebudayaan sebagai: "semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat (pemberian huruf tebal oleh penulis)." Karya menghasilkan 'material culture', sedangkan rasa dan cipta membuahkan 'immaterial culture”. Rasa itu sendiri menghasilkan segala kaedah dan nilai-nilai kemasyarakatan dalam arti yang luas; sedangkan cipta menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan.6 Bertitik tolak dari pembahasan singkat tersebut, patut dicurigai bahwa didalam kebudayaan terdapat adanya oposisi biner (binary oposition) sebagaimana pernah dituduhkan oleh antropolog strukturalis Levi-Strauss.



Jadi didalam kebudayaan itu ada unsur kontradiksi, yang menciptakan ketegangan-ketegangan kreatif. Dua ketegangan itu memiliki konsekuensi bahwa kebu-dayaan itu tidak pernah mandeg. Selalu melakukan rekonstruksi diri ataupun mendekonstruksi diri. Setidaknya ada lima oposisi biner didalam diri kebudayaan, yaitu: budaya material versus budaya immaterial, idea budaya versus realitas budaya, budaya seharusnya versus budaya senyatanya, budaya tinggi versus budaya rendahan, budaya elite versus budaya massa.



KARL MARX DAN MAX WEBER TENTANG DASAR KEBUDAYAAN

Perdebatan dalam masalah yang paling fundamental mengenai kebudayaan berkembang dari Karl Marx dan Max Weber. Bagi Marx yang berpihak kepada faham materialistik dan strukturalistik, ide-ide kebudayaan dipandang sebagai produk dari hubungan-hubungan ekonomi. Sementara itu bagi Weber yang lebih berpihak pada faham konstruksianis melihat sebaliknya. Bahwa struktur ekonomi itu tidak lebih dari konsekuensi saja dari kebudayaan. Bagi Weber, sistem kebudayaan adalah otonom. Ia berevolusi sendiri tanpa terpengaruh oleh yang lain. Sebaliknya dalam pandangan Marx ide kebudayaan adalah didikte oleh keadaan materi tertentu dalam ha1 ini struktur ekonomi.



Secara sederhana, dan simplistis dua perbedaan itu bisa digambarkan sebagai berikut: bagi Marx, setelah di depannya ada kayu dan bahan-bahan lainnya ialah yang membuat munculnya ide membuat kursi. Jadi karena ada kayu maka kemudian muncul ide membikin kursi. Jika tidak ada kayu, 'pasti' tidak akan pernah muncul ide membuat kursi itu. Sedangkan bagi Weber, bermula ada ide membuat kursi, baru kemudian mencari-cari bahan untuk menuangkan ide tersebut. 'Kebetulan' di sana ada kayu. Maka kayu itu menjadi bermakna karena ada ide membuat kursi. Jika tidak ada ide itu, kayu akan tetap kayu, tidak akan pernah naik derajatnya menjadi kursi.



Dari dua perbedaan besar tersebut kemudian berkembang dua arus pemikiran yang disamping mendukung juga melakukan kritik dan merevisi. Dari Marx, muncul faham neomarxis antara lain Gramsci dan Lukacs. Sedangkan dari Weber muncul tokoh-tokoh konstruksionis kontemporer yaitu Habermas, Blias, dan Bourdieu.



ANTONIO GRAMSCI TENTANG KEBUDAYAAN

Sebagaimana pandangan utamanya. Marx lebih memberi tekanan pada hubungan-hubungan yang bersifat ekonomis lah yang menentukan kebudayaan. Khususnya masalah produksi. Dalam ha1 ini gramsci meralat pan-dangan itu dengan menganggap bahwa faktor politiklah yang lebih penting. Bahkan Gramsci menganggap sebagai kesalahan yang paling fatal yang dilakukan oleh Karl Marx dan para pengikut ortodoksnya adalah sikap keras kepalanya dalam mempertahankan pandanganya yang terlalu ekonomistis. Begitu juga, bagi Marx kebudayaan terbentuk harus dengan cara mendominasi, yaitu melalui tekanan dan paksaan yang lebih bersifat pisikal. Tapi bagi Gramsci adalah lebih tepat dengan hegemoni yaitu membius atau sebaliknya menggugah (tergantung tujuannya) kesadaran intelektual. Sarana pembius (atau sebaliknya penggugah) kesadaran intelektual masyarakat tersebut tidak lain harus menggunakan sarana budaya. Dengan demikian unsur-unsur kebudayaan seperti ilmu pengetahuan, nilai-nilai dan norma-norma bisa dimanipulasi untuk kepentingan membangun kesadaran tertentu. Dengan demikian, bagi Gramsci budaya bukan untuk dibentuk saja tetapi sekaligus juga pembentuk kesadaran. Begitu Gramsci mengedepankan pentingnya 'kesadaran' di sini ia mulai bersilang paadangan dengan kaum marxis ortodoks yang menganggap bahwa kesadaran bukan faktor ubahan yang penting karena ia adalah hanya efek dari keadaan materi saja. sebagaimana Angels katakan: "hidup tidak ditentukan oleh kesadaran, tetapi kesadaran dikendalikan hidup". Gramsci menempatkan kebudayaan sejajar dan bersama-sama dengan ideologi dan politik, sebagai 'supra struktur' yang bisa menjadi faktor penahan atau sebaliknya pengubah bagi keberadaan kapitalisme.



Kesalahan Marxisme ortodoks menurut gramsci adalah konsep tentang massa yang pasif. Massa proletar yang menunggu datangnya kiamat kapitalisme yang diakibatkan oleh adanya kontradiksi internal kapitalisme itu sendiri. Sehingga revolusi sosialis adalah suatu keniscayaan sejarah, dan akan terjadi dengan sendirinya. Padahal pada kenyataannya, sistem kapitalisme mampu membangun subsistem imunisasi di dalam dirinya sehingga datangnya bahaya implosi (ledakan didalam) yang menjurus kearah kematian kapitalisme sebagai akibat adanya kontra diksi internal tersebut bisa dihindari. Salah satu subsistem imunisasi internal kapitalisme adalah adanya langkah-langkah inkorporatif di mana ideologi, budaya dan perilaku politik klas pekerja secara sukarela ataupun konsensus mau menundukkan diri dan berkoeksistensi bahkan secara inheren melekat dengan ideologi, budaya dan politik kapitalisme itu sendiri. Di sinilah Gramsci menekankan perlunya membangun 'kesadaran dehegemonik' sebagai langkah untuk menggugah massa dari belenggu ideologi, budaya dan politik kapitalisme. Dalam kaitannya dengan membangun kesadaran dehegemonik ini kebudayaan merupakan instrumen yang sama sekali tidak bisa diabaikan begitu saja.



OGBURN MENGENAI TEKNOLOGI DAN KEBUDAYAAN

Di antara teoritisi yang --sebagaimana Marx--menganggap bahwa kondisi-kondisi teknologis dan ekonomis sebagai yang mendasari suatu kebudayaan adalah dikemukakan oleh William F. Ogburn 8. Sehingga kondisi-kondisi itulah yang harus dipelajari sebagai titik tolak terjadinya dan berubahnya kebudayaan. Pertama-tama Ogburn mempertanyakan hakekat perubahan kebudayaan, dalam ha1 ini ia melihat hubungan antara kebudayaan material, yakni teknologi dan proses-proses yang menyertainya, dengan kebudayaan nonmaterial yaitu lembaga-lembaga sosial. nilai-nilai dan norma-norma. Dia berpendapat bahwa perubahan kebudayaan material cenderung terjadi lebih dahulu ketimbang kebudayaan nonmaterial. Dalam proses reaktif kebudayaan non material atas perubahan yang terjadi pada kebudayaan material tersebut memungkinkan terjadinya cultural lag. Tapi bukankan muculnya perubahan budaya material itu adalah akibat adanya penemuan, dan penemuan adalah didahului oleh adanya proses mental oleh individu-individu tertentu yang bersifat nonmaterial?. Ogburn tidak menafikan akan ha1 itu, akan tetapi, tangkis Ogburn, bukankah terjadinya proses mental itu merupakan reaksi atas adanya budaya material yang mendahuluinya?



Jadi dengan demikian kenyataan itu tidak mengubah pandangannya akan kedudukan yang lebih penting budaya material dibanding budaya nonmaterial. Dan kenyataan itu hanya menjelaskan bahwa setiap penemuan-penemuan yang menyebabkan terjadinya perubahan budaya itu memerlukan adanya suatu latar belakang transmisi kebudayaan, semisal tak akan ada gerobak sebelum diketemukan roda terlebih dahulu. Dengan terjadi penambahan dan perubahan budaya material yang akumulatif berarti telah terjadi perkembangan yang sangat pesat pada basis kebudayaan. Sementara itu sangat mungkin budaya nonmaterial tidak bisa melakukan reaksi-adaptif yang sepadan, sehingga timbul ketegangan dan akumulasi cultural lag. Gejala tersebut baru bisa diatasi bila adalah perubahan yang drastis dan cepat semisal revolusi, peperangan dan lain sebaginya.



RASIONALISASI BUDAYA HABERMAS

Habermas berpendapat bahwa pengetahuan adalah dasar dari kebudayaan. Dalam ha1 ini manusia sebagai produsen budaya memiliki tiga kemungkinan pemaknaan atas hal-ha1 yang memungkinkan terbentuknya organisasi sosial, yaitu: bekerja, berkomunikasi dan mengasah kemerdekaan berpikir. Karena itulah mereka memiliki kepentingan teknis, praktis, sekaligus emansipatoris. Selama manusia itu adalah makhluk sosial, mereka dapat dan akan mencari upaya untuk merealisasikan salah satu atau lebih darinya itu. Untuk mewujudkan masing-masing manusia memerlukan media kerja, bahasa dan juga kekuasaan. Kepentingan-kepentingan tersebut akan menghasilkan tiga kategori kemungkinan pengetahuan Habermas melontarkan kritiknya terhadap Marx mengenai pentingnya bekerja bagi manusia. Menurut Marx bekerja adalah merupakan salah satu bagian dari struktur ekonomi. Dan oleh karena itu menurut Marx, manusia baru bisa disebut manusia apabila dia sudah membuat alat alat-kerja. Habermas tidak menyanggah akan hal itu selama hal itu dimaksudkan untuk melihat hakekat manusia dibandingkan binatang.



Tapi bila untuk menjelaskan manusia dalam kaitannya dengan kebudayaan, pekerjaan adalah merupakan hubungan ekonomis yang tidak seimbang. Di sana manusia berhadapan dengan bahan dan alat produksi. Manusia sebagai subyek sementara bahan dan alat produksi sebagai obyek. Manusia aktif, bahan produksi pasif. Pekerjaan adalah model yang tepat sepanjang untuk menjelaskan hubungan manusia dengan alam. Tetapi tidak, atau setidak-tidaknya tidak selalu bisa menjelaskan hubungan antara manusia dengan manusia. Karena hakekat hubungan manusia dengan manusia adalah komunikasi. Dalam komunikasi, kedua belah pihak adalah subyek baik aktif maupun pasif. Dan di dalam komunikasi sebenarnya manusia saling melakukan tukar-menukar, --saling memberi tetapi tanpa membuat sipemberi mengalami pengurangan, bahkan saling menambah-- pengetahuan10. Karenanya, pengetahuan adalah dasar dari kebudayaan.



KEBUDAYAAN POSTMODERN

"Postmodernisme adalah istilah yang sangat kontroversial. Bahkan istilah ini kadang digunakan sebagai bahan olok-olok. Kejelasan maksudnya pun masih dicari. Francois Lyotard dan Gellner misalnya, menggunakannya dengan arti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala ha1 yang berpola modern. David Griffins menggunakan untuk menjelaskan akan adanya koreksi atas aspek-aspek tertentu dari kemodernan; Jean Baudrillard, Jacmues Derrida dan Foucault menggunakannya untuk menjelaskan akan adanya proses modernisasi yang semakin radikal yang pada akhirnya menjurus kepada kematian dari kemodernan itu sendiri; Anthony Giddens melihatnya sebagai bentuk kearifan dari kemodernan setelah melakukan otokritik; sementara itu Habermas menggunakan istilah postmodern sebagai salah satu tahap kemodernan yang memang belum selesai.



Didalam wilayah kebudayaan Frederic Jameson menggunakannya dengan pengertian sebagai logika kebudayaan yang membawa transformasi dalam suasana kebudayaan yang lebih umum. Kalau modernism terkait dengan 'kapitalisme manopoli', sedangkan postmodernism terkait dengan 'kapitalisme multinasional' pasca perang dunia II dengan ciri dominannya fungsi teknologi produksi dalam jaringan global. Namun pandangan Jameson tersebut baru setengah benar. Karena dalam medan filsafat yang terjadi malah sebaliknya. Postmodenisme justru menunjukkan ketidak-percayaannya terhadap segala bentuk narasi besar yang mentotalitas semisal Hegelian, Liberalian, Marxian dan lain sebagainya. Benar bila yang dimaksud 'kebudayaan yang lebih umum' tersebut adalah kemauan budaya postmodern untuk menghaluskan sensitifitas terhadap pengakuan dan mentoleransi adanya aneka budaya. Dengan demikian 'umum' berarti beraneka, bukan 'berseragam'. Jean Baudrillard membedakan antara modern dengan postmodern sebagai berikut: kalau modern ditandai terjadinya eksplosi (ledakan keluar) komoditas, mekanisasi, teknologi dan pasar; sedang postmodern ditandai dengan adanya implosi (ledakan kedalam) kebudayaan yang menyebabkan lenyapnya semua batas pembeda antara budaya tinggi dengan budaya rendah, antara permukaan dengan kedalaman, serta segala bentuk binary oposition lain yang selama ini dipelihara oleh teori-teori sosial dan filsafat tradisional

read more …

FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT BUGIS

0 komentar
Falsafah hidup secara fundamental, dipahami sebagai nilai-nilai sosio kultural yang dijadikan oleh masyarakat pendukungnya sebagai patron (pola) dalam melakukan aktivitas keseharian. Demikian penting dan berharganya nilai normatif ini, sehingga tidak jarang ia selalu melekat kental pada setiap pendukungnya meski arus modernitas senan-tiasa menerpa dan menderanya. Bahkan dalam implementasinya, menjadi roh atau spirit untuk menentukan pola pikir dan menstimulasi tindakan manusia, termasuk dalam memberi motivasi usaha.

Mengenai nilai-nilai motivatif yang terkandung dalam falsafah hidup, pada dasarnya telah dikenal oleh manusia sejak masa lampau. Tatkala zaman “ajaib” berlangsung yakni lima hingga enam ratus tahun sebelum masehi, di seluruh belahan bumi muncul orang-orang bijak yang mengajari manusia tentang cara hidup. Orang India memiliki tokoh spiri-tual bernama Buddha, di Parsi bernama Zarasustra, di Athena ada Socrates, serta dalam masa yang sama Lao-Tse dan Confucius juga mengajar cara hidup di Tiongkok. Entah karena diilhami oleh petunjuk Yang Maha Kuasa atau alam mitologi maupun setting ling-kungan tertentu (dominasi alam), tetapi yang pasti bahwa mereka telah menunjukkan buah pikir yang sangat luar biasa di tengah keterbatasan sumber literatur.

Tak terkecuali orang Bugis, di masa lampau juga telah memiliki sederet nama orang bijak yang banyak mengajari masyarakat tentang filsafat etika. Hal ini tercermin melalui catatan sejarah bahwa perikehidupan manusia Bugis sejak dahulu, merupakan bagian integral dan tidak dapat dipisahkan secara dikotomik dari pengamalan aplikatif pangaderrang. Makna pangaderrang dalam konteks ini adalah keseluruhan norma yang meliputi bagaimana seseorang harus bertingkah laku terhadap sesama manusia dan ter-hadap pranata sosialnya yang membentuk pola tingkah laku serta pandangan hidup. Demikian melekat-kentalnya nilai ini di kalangan orang Bugis, sehingga dianggap berdosa jika tidak melaksanakan.

Dalam konteks ini, inklusif di dalamnya ade’ (ada’, Makassar) atau adat istiadat, yang berfungsi sebagai pandang-an hidup (way of life) dalam membentuk pola pikir dan mengatur pola tingkah laku manusia dalam kehidupan ber-masyarakat dan bernegara. Karena itu, dalam sistem sosial masyarakat Bugis, dikenal ade’ (adat), rapang (undang-undang), wari (perbedaan strata) dan bicara (bicara atau ucapan), serta sara’ atau hukum ber-landaskan ajaran agama.

Pengamalan secara aplikasi-implementatif pangaderrang sebagai falsafah hidup orang Bugis, memiliki 4 (empat) asas sekaligus pilar yakni: (1) Asas mappasilasae, yakni memanifestasikan ade’ bagi keserasian hidup dalam bersikap dan bertingkah laku memperlakukan diri-nya dalam pangaderrang; (2) Mappasisaue, yakni diwujudkan sebagai manifestasi ade’ untuk menimpahkan deraan pada tiap pelanggaran ade’ yang dinyatakan dalam bicara. Azas ini menyatakan pedoman legalitas dan represi yang dijalankan dengan konsekuen; (3) Mappasenrupae, yakni mengamal-kan ade’ bagi kontinuitas pola-pola terdahulu yang dinyatakan dalam rapang; (4) Mappalaiseng, yakni manifestasi ade’ dalam memilih dengan jelas batas hubungan antara manusia dengan institusi-institusi sosial, agar terhindar dari masalah (chaos) dan instabilitas lainnya. Hal ini dinyatakan dalam wari untuk setiap variasi perilakunya manusia Bugis.

Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam falsafah hidup orang Bugis tersebut, menarik dihubungkan dengan etos kerja orang Wajo sebagai sebagai salah satu pendukung kebudayaan Bugis di jazirah Sulawesi Selatan.

Eksistensi Falsafah Hidup
Pentingnya peran adat (ade’) sebagai falsafah hidup, di antaranya tercermin melalui kalimat: “Maradeka To WajoE Adenami Napopuang” (hanya tanah atau negeri yang abadi yang siempunya tanah merdeka semua, hanya adat yang mereka pertuan). Hal ini sejak lama menjadi prinsip dan kewajiban dalam kontrak sosial antar Arung Matowa (raja) dengan rakyatnya.

Eksisnya nilai sosio-kultural yang terkandung dalam pangaderrang, sehingga tetap bertahan dan menjadi pandangan hidup manusia Bugis disebabkan dua faktor. Pertama, bagi manusia Bugis yang telah menerima adat secara total dalam kehidupan sosial budaya atau lainnya, konsisten atau percaya dengan teguh bahwa hanya dengan berpedoman pada adat, ketentraman dan kebahagiaan setiap anggota dapat terjamin. Kedua, implementasi dengan berpedoman pada adat itulah yang menjadi pola tingkah laku dan pandangan hidup bermasyarakat.

Kecenderungan orang Bugis merefleksikan petuah atau nasehat serta wejangan para cerdik pandai sebelumnya, tidak lantas membuat mereka alergi dengan perubahan. Bahkan sebaliknya, kolaborasi-akumulatif antara nilai pangaderrang dengan syara’ (agama) pada gilirannya menjadi benteng pertahanan tangguh terhadap institusi dari dominasi westernisasi dalam paket sekularisme. Mengenai Pentingnya peran agama dalam memfilter pengaruh sekularisme akibat modernisasi, sebenarnya telah mendapat perhatian serius sejak lama. Sebut saja Donald E. Smith, pernah menguraikan hal ini dalam buah penanya “Agama dan Modernisasi Politik: Suatu Kajian Analitis” (1985).

Masuknya pengaruh Islam secara adaptif dalam sistem nilai pangaderrang dan kemampuan merespon perubahan zaman di kalangan orang Bugis, pada gilirannya melahirkan pemaknaan ter-hadap institusi sosial sebagai warisan leluhur pun berbeda. Mungkin ada yang masih tergolong fanatik mengamalkan nilai-nilai ini, semi percaya, dan ada yang cenderung telah mengabaikannya. Meskipun demikian, bukan persoalan level pemaknaan yang menjadi inti kajian ini, akan tetapi bagaimana nilai sebuah pesan itu mampu menjadi pandangan hidup dan spirit usaha.

Falsafah orang Bugis yang pada gilirannya menjadi pandangan hidup dan pola perilaku, sebagian dapat kita temukan melalui Lontarak Pammulanna Wajo yang memuat petuah-petuah Puang ri Maggalatung. Tentang etos kerja orang Bugis disinyalir merupakan bagian makna siri’ dalam implementasinya.

Pentingnya aplikasi makna siri’‘ terhadap para penguasa (raja-raja) Wajo, tertera dalam pesan Puang ri Maggalatung: Padecengiwi bicara-e, Parakai ampe-ampe malebbi-e, Gau-gau lalo’ tennga-e, Pari tengngai bicara ri tennga-e. Pesan ini bermakna “perbaiki cara bicara jika berbicara, perbaiki tingkah laku mulia dan terhormat, gerak langkah sederhana atau tidak angkuh dan tidak sombong, tempatkan di tengah untuk pembicaraan di tengah, tidak melebihi, tidak memihak sebelum mengetahui posisi kebenarannya”.

Nilai-nilai filosofis tersebut, sebagian diwariskan dalam bentuk tertulis melalui lontarak, dan ada pula melalui pesan-pesan (Pappaseng) dan petuah (pappangaja). Sekadar untuk diketahui bahwa beberapa pendukung kebudayaan di Sulsel juga mengenal dan menghargai pesan leluhur, seperti: orang Toraja menyebutnya dengan aluktudolo, orang Kajang mengistilahkan dengan pasang, orang Bugis menamakan pappaseng, dan lain-lain .
Uraian mengenai pesan Puang Ri Magalatung tersebut, pada gilirannya menjadi pedoman hidup orang Bugis dalam beraktivitas tak terkecuali kegiatan usaha. Hal ini sejalan dengan asumsi bahwa untuk menjalankan aktivitas usaha (perdagangan) jenis apapun, tidak hanya dibutuhkan modal finansial. Akan tetapi sejumlah modal sosial (social capital), juga mutlak dimiliki terutama dalam menjalin interaksi sehingga antara produsen atau supplayer dengan konsumen atau user (pembeli; pemakai) dapat terjalin harmonis.

Bicara (cara bertutur kata), juga merupakan modal utama dalam kegiatan usaha dan bahkan menjadi faktor penentu terjalin dan terciptanya koneksitas. Batapa tidak, kemampuan (strategi) berkomunikasi memegang peranan penting untuk menarik minat melalui sejumlah kesan bersahabat yang diciptakan secara ekspresif.

Demikian pula ampe (tingkah laku; tempramen), memegang peranan signifi-kan sebab hal ini merupakan penentu lahirnya daya pikat dan ketertarikan orang lain atas seseorang yang membutuhkan. Karena itu, dalam kehidupan bermasyarakat di kalangan orang Bugis Wajo, mengenal konsep sipakatau (memanusiakan sesama), sipakalebbi (saling memuliakan), sipakainge (saling mengingatkan).

read more …

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BUGIS

0 komentar
Pengetahuan lokal (kearifan lokal) merupakan hasil adaptasi
suatu komunitas yang berasal dari pengalaman hidup yang
dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Sehingga kearifan lokal
merupakan pengetahuan lokal yang digunakan masyarakat lokal untuk
bertahan hidup dalam suatu lingkungannya yang menyatu dengan
sistem kepercayaan, norma, budaya dan diekspresikan di dalam tradisi
dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama. Proses
regenerasi kearifan lokal dilakukan melalui tradisi lisan (cerita rakyat)
dan karya-karya sastra, seperti babad, suluk, tembang, hikayat, lontarak
dan lain sebagainya.

Dalam konteks siri’-masiri, Mangemba mendifinisikan siri’
sebagai penggerak secara spiritual yang membimbing perilaku
masyarakat Sulawesi Selatan dalam menghadapi dan menyelesaikan
berbagai persoalan seperti perkawinan, hubungan keluarga, hukum,

instutisi politik dan ekonomi.
Dalam manuskrip lontara’ menggambarkan siri’ bukan hanya
mencakup akibat, tetapi juga mencerminkan diri. Orang merasa malu
(siri’) ketika mereka melanggar nilai luhur yang mereka pegang.
Sehingga kualitas siri’ akan menurun jika seseorang mempunyai
keinginan yang berlebihan atau serakah, sebagaimana dalam kasus raja
yang kehilangan kekuasaannya karena tindakan tercela (kasiri’ siri’).
Fungsi malu dalam konteks siri’-masiri’ bisa lihat sebagai alat kontrol
sosial.

Siri’ hanya dapat berfungsi jika ia dikaitkan dengan unsur-unsur
adat lainnya. Salah satu aspek penting adalah, mangngalli yang
mencakup kualitas keagamaan, pengetahuan, kepribadian yang baik
dan kekayaan. Jadi siri’ akan mempunyai daya dorong bagi
pendukungnya untuk menghormati orang lain dan bekerja keras dengan
tidak bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan. Bahkan siri’
dianggap sebagai sumber keberhasilan rakyat Sulawesi Selatan di luar
tanah air mereka. Salah seorang yang berasal dari tradisi siri’ dan
mencapai prestasi besar adalah Tun Abdul Razak, mantan Perdana
Menteri Malaysia adalah putra Sulawesi Selatan. Contoh lain adalah
Sulaeman yang menjadi Sultan di Johor. Pada abad ke-18 orang-orang
Makassar meninggalkan tanah airnya dan menjadi penguasa di
Semenanjung Malayu.

Dalam tradisi siri’, laki-laki dianggap sebagai pembela
kehormatan dan perempuan sebagai wadah kehormatan. Unsur penting
dalam tradisi siri’ adalah kenyataan bahwa kehormatan perempuan
mencakup kesucian, keperawanan dan kemampuan merawat suami
setelah menikah. Masyarakat Bugis-Makassar percaya bahwa menjaga
anak perempuan bukanlah pekerjaan yang mudah. Maka muncul
ungkapan ‘menggembala seratus kerbau lebih mudah daripada menjaga
seorang anak perempuan’. Perempuan yang belum menikah tidak hanya
menjadi simbol kehormatan keluarga, tetapi juga akses pada kekayaan.
Jika seorang perempuan Makassar melanggar aturan perkawinan, orang
tuanya akan menanggung aib. Sesuai kewajiban adat, keluarganya
melakukan pembunuhan dan kekerasan untuk memperoleh kembali
kehormatan mereka yang hilang

Dari perspektif agama, siri’ mengarahkan bagaimana orang
Bugis-Makassar mengabdi pada Tuhan dan memberikan aturan
normatif yang membimbing perilaku manusia. Orang disamakan
dengan binatang jika tidak mematuhi aturan agama. Sebagaimana
digambarkan dalam pepatah yang artinya ‘jika tidak ada siri’, maka
tidak akan ada agama, jika tidak ada agama, maka tidak akan ada Allah,
jika tidak ada Tuhan, maka tidak akan ada surga.

Dalam konteks yang berbeda, siri’ ripakasiri’ berfungsi sebagai
serangan dan pembelaan orang Bugis dan Makassar terhadap rasa malu
yang diterimanya. Bahkan untuk mempertahankan rasa malunya, orang
Bugis lebih suka mati berperang daripada hidup dan menanggung
‘ripakasiri’. Dalam konteks inilah pada awal abad 18 ketika terjadi
kekalahan orang-orang Bugis-Makassar atas wilayahnya, mereka
melakukan migrasi besar-besaran ke daerah Semenanjung, Jawa,
Kalimantan dan Jambi. Migrasi ini nantinya melahirkan percampuran
darah Bugis Makassar dengan daerah yang dikuasainya.
Nilai-nilai kearifan budaya lokal itu jika tidak dijaga dan
dipelihara, dikhawatirkan secara berangsur akan terjadi proses
kepunahan, karena desain besar kebudayaan seringkali tidak mampu
mengendalikan dinamika sosial ke arah bagaimana yang dirancangkan.
Perkembangan sosial, ekonomi dan politik, sebagai akibat dari
globalisasi menjadikan budaya lokal sebagai pondasi modernisasi
budaya menuju budaya Indonesia yang maju dan unggul mengalami
hambatan-hambatan.
 

read more …

KETIKA IBLIS MENIKAHI SEORANG PEREMPUAN

1 komentar
PADA cerita-cerita lama dalam sejarah Florentine orang mungkin membaca tentang seseorang yang sangat suci (dikenal melalui cerita dari mulut ke mulut), yang perangainya sangat dihormati oleh siapa pun pada saat itu. Kita membaca bagaimana ia mampu melihat --karena kekhusyukan doa-doanya-- jiwa orang-orang yang menderita, yang meninggal tanpa ridho Tuhan dan tercampak ke neraka. Semua atau sebagian besar dari mereka masing-masing memaki diri sendiri tanpa alasan selain bahwa mereka telah menghadirkan kesengsaraan bagi diri sendiri dengan mengambil seorang istri.

Di antara para hakim di neraka, ada dua orang, yakni Minos dan Rhadamanthus, yang tak segera percaya pada hujatan para lelaki penghuni neraka. Mereka tidak pernah yakin bahwa seluruh hujatan terhadap perempuan yang terus diteriakkan ini adalah sesuatu yang dapat dipercaya; tapi hari demi hari hujatan-hujatan makin meningkat. Ketika mereka menyampaikan persoalan ini kepada Pluto dengan bahasa yang mengesankan, Pluto memutuskan untuk melakukan penyelidikan secara seksama. Ia mengumpulkan para pangeran dari Neraka dalam sebuah forum besar.

Di forum itu Pluto meminta nasihat bagaimana cara mengadili yang seadil-adilnya, cara mengungkap kebohongan, atau cara menemukan kebenaran dalam persoalan tersebut. Maka, ketika anggota dewan yang terdiri dari para bangsawan Neraka berkumpul, Pluto memulai pidatonya:  "Para penghuni neraka yang terkasih. Meskipun aku menguasai kerajaan ini dengan seluruh kekuasaan dan dengan kehendak takdir yang tak bisa diubah (dan karena itulah aku tidak bisa ditundukkan oleh sidang pengadilan mana pun baik di langit maupun di bumi), bagaimanapun, karena pihak yang sangat berkuasa harus menunjukkan kebijaksanaan terbesar dalam ketaatannya terhadap hukum dan dalam menghargai pendapat pihak lain, maka aku memutuskan untuk minta pendapat kepada kalian semua tentang bagaimana aku harus mengambil tindakan. Sebab hujatan para lelaki yang datang ke kerajaan kita ini dapat menjadi persoalan yang memalukan kerajaan kita.  "Kenapa setiap lelaki yang datang ke kerajaan kita menyatakan bahwa penyebabnya adalah karena mereka punya istri? Hal itu bagiku tampak tidak masuk akal. Kita takut dalam proses pengambilan keputusan di depan pengadilan kita akan dicela karena terlalu naif, mudah percaya, atau sebaliknya karena kurang tegas dan kurang mencintai hukum. Melihat bahwa kesalahan pertama dari setiap pengambilan keputusan adalah kesembronoan dan yang lain adalah ketidakadilan, dan berharap bisa bebas dari tuduhan yang datang dari seseorang atau lainnya, dan tidak bisa kami menemukan pemecahannya, maka kami kumpulkan kalian untuk mengakhiri persoalan ini, kalian bisa membantu kami dengan nasihat sehingga kerajaan kita ini akan berjalan tenteram, sebagaimana yang sudah-sudah, tanpa hujatan." 

Semua pangeran memikirkan persoalan yang begitu penting dan sangat pelik ini. Semuanya sependapat bahwa sangat penting untuk menguak kebenaran, namun mereka tidak menemukan kata sepakat tentang bagaimana cara melakukannya. Sebagian berpikir bahwa salah satu dari mereka (sementara sebagian yang lain menganggap harus lebih dari satu) harus dikirimkan ke bumi, dan menyamar sebagai manusia untuk mempelajari kebenaran pada manusia. Tiba-tiba mereka sadar bahwa itulah cara yang paling mudah, yakni menurunkan wakil-wakil dari Neraka ke dunia, memerosokkan mereka ke dalam penderitaan, dan mereka kelak akan mengungkapkan pengalaman mereka di depan forum. Tapi ketika mayoritas menyarankan bahwa hanya satu di antara mereka yang harus dikirimkan, semuanya saling pandang. Karena tak satu pun bisa menemukan siapa yang paling tepat untuk menjalankan tugas ini, mereka terpaksa melakukan undian. Yang kalah adalah Belfagor, iblis terbesar (sebelum dikeluarkan dari sorga, ia adalah malaikat terbesar). Meskipun sesungguhnya malas menerima tugas tersebut, namun, di bawah tekanan kekuasaan Pluto, ia menyanggupi keputusan dewan dan Belfagor meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sanggup menjalankan ketetapan itu.

Aturan segera dibuat dengan sungguh-sungguh: yakni, siapa yang mengemban tugas akan dibekali saat itu juga dengan dana sebesar 100.000 ducat. Dengan bekal itu ia dilepas ke bumi, dalam wujud manusia, menikahi seorang perempuan, dan hidup dengannya selama sepuluh tahun; kemudian, ia harus pura-pura mati dan kembali ke neraka untuk memberi laporan kepada anggota dewan Neraka tentang beban dan cobaan dalam perkawinan. Selanjutnya, dinyatakan bahwa selama kurun waktu tertentu ia harus menjalani kesengsaraan dan rasa sakit yang menimpa manusia yang disebabkan oleh kemiskinan, keterkungkungan, penyakit, dan semua penderitaan yang terjadi pada manusia, dan hanya dengan keculasan atau kecerdikan ia dapat membebaskan diri dari semua itu. Belfagor tak mau berlama-lama mendengar instruksi tersebut, secepatnya ia mengambil uangnya, dan turun ke bumi.  Kepada iblis-iblis kawannya ia meminta disiapkan sejumlah kuda dan para pelayan. Lalu sebagai seorang bangsawan yang berpenampilan mewah, ia bersama para pelayannya memasuki Florence. Dipilihnya kota ini, dan bukan kota lain, karena ia melihat sangat mungkin baginya untuk mengupah orang yang dapat menangani uangnya dengan seluruh kecakapan menjalankan riba.

Dengan nama baru sebagai Roderick of Castile, ia menyewa rumah di kawasan Ognissanti. Dan untuk menjaga diri dari syak-wasangka orang-orang di sekitarnya, Roderick bilang kepada mereka bahwa ia baru saja meninggalkan Spanyol dan pergi ke Syria, dan di Aleppo ia beroleh rezeki. Dari sana ia berangkat ke Italia untuk mengambil seorang istri dengan pertimbangan bahwa negeri ini lebih beradab dan orang lebih menjaga kesantunan, dan itu sesuai dengan seleranya.  Roderick sangat tampan dan kira-kira berusia tiga puluh tahun. Dalam beberapa hari saja ia sudah menunjukkan diri sebagai orang yang sangat kaya dan, dengan memamerkan kemurahan hati serta keramahannya, banyak bangsawan setempat yang memiliki banyak anak gadis, dan sedikit uang, menawarkan anak mereka kepadanya. Dari semua yang ditawarkan kepadanya, Roderick memilih seorang yang sangat cantik bernama Honesta, anak perempuan Amerigo Donati. Sang ayah memiliki tiga anak perempuan yang sudah memasuki usia perkawinan dan tiga anak lelaki yang sedang tumbuh. Meskipun Amerigo Donati seorang keturunan bangsawan yang terhormat di Florence, namun jika membandingkan isi rumah dengan derajat kebangsawanannya, ia tergolong melarat.  Roderick membiayai sendiri pesta perkawinannya dengan Honesta. Begitu mewah, begitu megah; tak satu pun yang didambakan dalam kemeriahan pesta yang tidak tersedia.

Tunduk kepada seluruh nafsu manusia, sebagaimana tugas yang diberikan kepadanya ketika meninggalkan neraka, suatu hari ia mulai menikmati kekayaan dan pesta-pesta duniawi. Ia sangat menyukai pemujaan dari orang-orang di sekitarnya; dan ia sanggup mengeluarkan biaya besar untuk itu.  Namun, di luar semua itu, kebahagiaan perkawinannya dengan Honesta runtuh sebelum ia benar-benar mencintai istrinya itu. Ia tidak tahan melihat kemurungan dan kekasarannya. Honesta masuk ke rumah Roderick tidak hanya membawa serta kebangsawanan dan kecantikannya, tapi juga setiap bentuk keangkuhan yang bahkan setan pun tidak memilikinya; dan Roderick, yang memiliki pengalaman baik sebagai iblis maupun manusia, memberitahu istrinya agar lebih memperbesar keangkuhannya.  Apa yang diinginkan suaminya benar-benar dilaksanakan oleh Honesta sehingga rasa cinta sang suami pun menjadi berlipat-lipat. Ketika perempuan itu sadar bahwa ia dapat melakukan segala sesuatu seolah-olah sangat berkuasa atas suaminya, ia mulai memerintah-merintah suaminya dengan kasar dan tanpa rasa hormat sedikit pun. Tanpa ragu-ragu ia akan mencaci maki dengan kata-kata yang kasar dan hina, jika suaminya menolak permintaannya. Semua ini membuat Roderick merasa sangat tertekan. Namun mertua lelakinya, adik-adik lelaki Honesta, kerabat-kerabat istrinya, keabadian ikatan perkawinannya dengan Honesta, dan di atas segalanya adalah rasa kasihnya kepada perempuan itu, mengharap agar Roderick menghadapinya dengan sabar.  Tidak ada gunanya menceritakan betapa mahal untuk memuaskan istrinya yang gila akan gaya hidup mutakhir dan selalu penuh nafsu mengikuti mode yang terus-menerus berubah.

Dalam keinginannya untuk tetap hidup tenang bersama istrinya, Roderick terpaksa membantu mertuanya menikahkan dua anak perempuannya yang lain, dan untuk itu ia harus mengeluarkan biaya yang sangat besar. Kemudian, tetap dengan keinginan untuk mengambil hati istrinya, ia harus mengirimkan salah satu adik lelaki istrinya ke Timur dengan pakaian bagus, yang lainnya ke Barat dengan pakaian sutera, dan menyiapkan untuk yang ketiga perusahaan kerajinan emas di Florence. Untuk semua ini, ia mengeluarkan sebagian besar kekayaannya.  Ketika seluruh kota merayakan hari peringatan Santo Yohannes sebagaimana yang biasa dilakukan turun-temurun, dan ketika banyak orang kaya dan terhormat saling mengundang satu sama lain dalam pesta-pesta yang mewah, Lady Honesta --tak mau kalah oleh perempuan lain-- memaksa Roderick untuk menyelenggarakan pesta yang jauh lebih mewah dari siapa pun. Kali ini Roderick bertoleransi dengan alasan yang sama. Selain ia sendiri memang tidak ingin tampak kesulitan di mata orang lain (meski sebenarnya memang demikian).

Demi tugas dari neraka, ia tidak berkeberatan jika ketenangan rumah tangga melenggang jauh dari mereka, namun jika diizinkan ia ingin menanti datangnya kehancuran rumah tangga mereka dalam damai.  Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Bersamaan dengan kebiasaannya yang amat boros, perilaku kasar Honesta memerosokkan Roderick ke dalam tekanan batin tanpa akhir. Tidak ada pelayan atau pembantu rumah tangga di rumah mereka yang tahan menghadapi Honesta, tidak usah dalam hitungan bulan, tapi bahkan hari. Hal ini menyebabkan Roderick betul-betul tidak nyaman untuk mempertahankan pelayan yang setia dan menaruh hormat kepadanya. Mereka tidak lain adalah setan-setan yang menyertainya turun ke bumi sebagai pelayan. Mereka akhirnya lebih memilih kembali ke api neraka ketimbang hidup di bumi di bawah perintah Honesta.

Maka, di tengah-tengah guncangan dan keruwetan pikiran, setelah begitu banyak uangnya dikeluarkan, Roderick mulai menghidupkan angan-angan tentang keuntungan yang ia harap akan datang dari Timur dan Barat. Itu pun tak datang, bahkan segera tampak bahwa ia sedang dililit kesulitan keuangan. Sementara urusannya sendiri makin rumit, datang pula kabar dari Timur dan Barat pada waktu yang bersamaan bahwa salah satu adik Lady Honesta telah menghabiskan modal yang diberikan oleh Roderick di tempat perjudian; adiknya yang lain, kembali dengan kapal penuh barang dagangan yang semuanya tidak diasuransikan dan --sungguh celaka-- kapalnya karam.

Tidak lama setelah kabar itu tersebar, para kreditur Roderick secara serempak memutuskan bahwa Roderick sudah pailit karena karena kewajiban-kewajiban pembayaran utangnya tidak terselesaikan. Roderick gagal meyakinkan mereka bahwa dalam hitung-hitungan dagang, seluruh usahanya masih sehat. Mereka akhirnya menjatuhkan putusan bahwa Roderick kini dalam status di bawah pengawasan ketat. Roderick diawasi dari waktu ke waktu sehingga tidak ada kesempatan baginya untuk melarikan diri secara diam-diam. Melihat bahwa tidak ada lagi jalan keluar, dan sadar betul akan tugas yang dikeluarkan dari neraka, maka ia berusaha lari dengan berbagai cara.  Satu pagi Roderick mencongklang kudanya, dan lari melalui gerbang Prato, tak jauh dari tempat tinggalnya.

Tidak lama setelah ia lari, para krediturnya mencak-mencak dan mengajukan gugatannya ke para hakim, tidak hanya secara resmi melalui pengacara tapi juga melalui aksi massa. Mereka terus memburu ke mana Roderick lari. Untuk menghindari berbagai kesulitan dalam pelariannya, Roderick memutuskan untuk meninggalkan jalanan umum --agar tak ketahuan-- dan memilih menyusuri ladang dan persawahan. Tapi kerepotan lain muncul, ia terus terhalang-halang oleh banyaknya saluran air yang menghadangnya. Daerah yang dilaluinya memiliki begitu banyak saluran air dan, karena itu, tak mungkin meneruskan perjalanan dengan kudanya.  Ia memulai perjalanannya dengan berjalan kaki. Ditinggalkannya kudanya di jalan, lalu memotong ladang demi ladang yang dipenuhi pohon anggur dan tebu (yang berlimpah-limpah di sana). Di sekitar Peretola ia menemukan rumah Gianmatteo del Brica, yang bekerja pada Giovanni del Bene; dan kebetulan ia berjumpa dengan Gianmatteo sendiri yang sedang mengangkut makanan buat sapi-sapinya. Roderick meminta perlindungan kepadanya, dan berjanji jika Gianmatteo menyelamatkannya dari kejaran musuh-musuh yang terus memburunya dan berniat menjebloskannya ke penjara hingga mati, maka ia akan membuatnya kaya. Jika kelak ia gagal memenuhi janjinya, maka Roderick rela bahwa Gianmatteo-lah orang pertama yang akan menyerahkannya kepada musuh-musuhnya.

Meski hanya seorang petani, Gianmatteo adalah lelaki pemberani, dan berpikir bahwa ia tidak akan gagal menyelamatkan orang yang datang kepadanya itu. Ia berjanji akan memenuhi permintaan Roderick. Lalu disembunyikannya Roderick dalam tumpukan tahi sapi di depan rumahnya dan ditimbunnya lagi dengan reranting dan sampah-sampah lain yang ia kumpulkan untuk dibakar.  Roderick tersembunyi sangat rapat ketika para pemburunya berhenti sementara waktu di depan rumah Gianmatteo. Meskipun dengan sedikit memaksa, mereka gagal mengorek keterangan dari Gianmatteo apakah ia melihat Roderick atau tidak. Maka mereka pun melanjutkan pencariannya dan pulang kembali dengan rasa letih setelah menjelajahi Florence dengan sia-sia. Ketika suara mereka tak terdengar lagi, Gianmatteo mengeluarkan Roderick dari persembunyiannya dan menagih janji Roderick. "Saudaraku," sahut Roderick, "aku sangat berhutang padamu dan akan kubayar segala yang kujanjikan. Percayalah aku mampu melakukan semua yang kujanjikan kepadamu, aku akan menceritakan siapa aku sesungguhnya."

 Maka berceritalah Roderick tentang dirinya dan tentang tugas yang dibawanya dari neraka, juga tentang perempuan yang diambilnya sebagai istri dan tentang kehidupan rumah tangganya. Setelah itu ia memberitahu Gianmatteo bagaimana cara dia akan membuat petani itu kaya. Singkatnya begini: jika petani itu mendengar ada perempuan tertentu yang kerasukan setan, maka Roderick-lah sesungguhnya yang menguasai perempuan tersebut; dan ia tidak akan pernah keluar dari tubuh perempuan itu kecuali Gianmatteo datang untuk memintanya pergi. Dengan apa yang dilakukannya ini Gianmatteo akan bisa meminta pembayaran kepada keluarga perempuan yang kesurupan itu sebesar berapa pun yang ia minta. Setelah saling bersepakat untuk urusan teknis pelaksanaannya, Roderick lenyap.

Tidak berapa lama kemudian tersiar kabar ke seluruh pelosok Florence bahwa anak perempuan dari Messer Ambruogio Amidei kerasukan setan. Keluarganya mengupayakan segala jenis pengobatan: mereka meletakkan di kepala anak perempuan yang kerasukan itu kepala Santo Zenobius dan jubah Santo John Walbert - terhadap kedua benda itu Roderick hanya mencibir. Untuk meyakinkan semua orang bahwa yang menyusup ke dalam tubuh perempuan itu benar-benar setan dan bukan gangguan ingatan, Roderick bicara dalam bahasa Latin melalui mulut perempuan yang dirasukinya dan menyodorkan pertanyaan-pertanyaan filosofis dan membongkar dosa-dosa sejumlah orang. Termasuk di antaranya seorang biarawan yang mengenakan pakaian perempuan dan menyusup ke dalam seminari selama empat tahun. Semua yang dikatakannya mencengangkan setiap pendengarnya.  Keadaan putrinya ini menyebabkan Messer Ambruogio sangat tersiksa. Telah berbagai upaya dicobanya, dan ia sudah kehilangan harapan ketika suatu hari Gianmatteo datang kepadanya dan menyatakan kepadanya bahwa ia sanggup mengusir setan yang merasuk ke tubuh putrinya asal dibayar 500 florin untuk membeli tanah pertanian di Peretola. Messer Ambruogio menerima tawaran itu. Gianmatteo segera melakukan aksi pengobatannya. Ia bertingkah seolah sedang membaca mantera-mantera dan melakukan upacara pengusiran. Setelah itu didekatinya perempuan yang kesurupan dan ia berbisik di telinganya: "Roderick, aku datang untuk melihat apakah kau memenuhi janjimu."  "Baiklah," sahut Roderick. "Tapi 500 florin tak cukup untuk membuatmu kaya; karenanya, begitu aku keluar dari tubuh perempuan ini, aku akan masuk lagi ke tubuh putri Raja Charles di Naples dan tidak akan pergi kecuali kau yang memintaku. Sang raja nanti akan memberimu apa saja yang kauminta. Setelah itu tak ada lagi utangku padamu dan kau tak boleh menggangguku lagi." Setelah mengatakan itu Roderick meninggalkan tubuh perempuan yang diboncenginya. Semua orang kagum dan menyebarlah cerita tentang kehebatan Gianmatteo sebagai pengusir setan.

Peristiwa yang sama terjadi pada putri Raja Charles dan kabarnya segera menyebar ke seluruh pelosok Italia. Tak ada obat yang bisa menyembuhkan putrinya. Tapi ada Gianmatteo, dan Sang Raja sudah mendengar kehebatannya. Maka dia kirimkan utusannya ke Florence untuk membawa Gianmatteo ke Naples. Gianmatteo datang, melakukan upacara sebentar, dan kemudian menyembuhkan putri raja yang sedang kerasukan itu.  Sebelum meninggalkan tubuh gadis itu, Roderick berpesan kepada Gianmatteo: "Lihat, aku tak ingkar janji. Sejak sekarang kau akan jadi seorang yang kaya raya dan aku bebas dari utangku kepadamu. Hiduplah dengan kekayaanmu dan jangan pernah menemuiku lagi, sebab jika kita bertemu lagi setelah ini, aku tak akan lagi berbuat baik kepadamu. Justru sebaliknya, aku akan melakukan segala sesuatu yang buruk. Maka hindari setiap pertemuan denganku."

Gianmatteo kembali ke Florence sebagai orang yang sangat kaya (raja memberinya lebih dari 50.000 ducat) dan sejak itu ia menikmati kekayaannya dengan tenang. Ia tak pernah berfikir bahwa Roderick akan punya niat untuk mencelakakannya. Tapi sebuah kejadian tiba-tiba membuat kepalanya berdenyut hampir pecah. Ia mendengar kabar tentang putri raja Perancis, Louis VII, yang kerasukan iblis. Gianmatteo menjadi gelisah ketika berfikir tentang raja yang akan menghukumnya jika dia menolak mengobati. Ia juga tak tenang karena ada ancaman dari Roderick agar mereka tak pernah bertemu lagi.  Gagal mendapatkan orang yang bisa menyembuhkan putrinya, dan mendengar tentang kehebatan Gianmatteo, raja segera mengirim utusan ke Folerence. Gianmatteo menyatakan bahwa ia tak bisa datang karena sejumlah alasan. Kesal oleh penolakan ini, raja meminta penguasa Florence agar memaksa Gianmatteo memenuhi undangannya. Tak bisa lagi mengelak, Gianmatteo datang ke Paris. Yang pertama kali ia lakukan adalah menjelaskan kepada raja bahwa kendati pada waktu-waktu lalu ia bisa menyembuhkan perempuan yang kesurupan, tapi itu tidak berarti ia akan selalu berhasil; sebab tidak semua setan takut pada doa-doa dan mantera-mantera yang diucapkannya. Ia akan melakukan yang diminta raja, namun terpaksa minta maaf jika gagal mengusir setan yang mendekam di tubuh putrinya.  Raja sangat marah mendengar penjelasan Gianmatteo dan dengan berang menyatakan bahwa ia akan menggantung Gianmatteo jika gagal menyembuhkan putrinya. Dengan perasaan yang sangat tertekan, petani dari Florence itu mencoba melakukan yang terbaik.

Dibisikkannya permintaan kepada Roderick ke telinga putri raja. Ia memohon agar Roderick tidak mengganggu ketenangannya dan menghentikan saja kesukaannya menyusup-nyusup ke tubuh perempuan, apalagi putri raja, agar ia tidak mendapatkan kesulitan di masa datang. Terhadap permintaan ini, Roderick menjawab: "Ah, pengkhianat murahan, kau datang tanpa izinku dan mengganggu kehadiranku. Tidak cukupkah kekayaan yang sekarang ada di tanganmu? Baiklah, aku akan tunjukkan kepada setiap orang bahwa aku bisa membuat kaya siapa pun dan bisa mengambilnya kembali jika aku mau."  Dengan jawaban seperti itu, Gianmatteo --yang tak melihat jalan lagi untuk berdamai dengan Roderick-- memutuskan untuk menempuh cara lain. Ia datang kepada raja. "Tuanku," katanya, "sebagaimana yang saya bilang kepada anda sebelumnya, rupanya tak hanya satu setan yang menyusup ke tubuh putri anda, sehingga tak banyak yang bisa saya lakukan. Karena itu saya ingin mencoba cara terakhir. Jika berhasil, itulah yang kita inginkan, tapi jika gagal saya akan sangat sedih dan silakan anda melakukan apa pun terhadap saya.  "Untuk cara terakhir ini saya minta dibangunkan sebuah panggung yang cukup besar di Our Lady Square, yang cukup untuk menampung semua bangsawan dan pejabat di kota ini. Saya minta panggung dilapis dengan sutera dan emas. Di tengah-tengahnya saya akan membangun altar. Minggu pagi mendatang saya harap anda, beserta seluruh pangeran dan bangsawan, berkumpul di sana dengan gemerlap pakaian kebesaran masing-masing yang menunjukkan kekayaan anda. Setelah upacara bersama yang khusyuk, saya akan meminta putri anda yang kerasukan dibawa ke depan. Di samping itu, saya minta di salah satu sudut lapangan disediakan paling tidak dua puluh orang dengan terompet, tamborin, simbal, dan segala macam alat musik. Jika nanti saya mengangkat topi saya, itulah aba-aba bagi mereka untuk memainkan alat musik mereka dan masuk ke panggung. Semua ini, bersama mantera-mantera dan doa saya, saya fikir akan bisa mengusir setan-setan dari tubuh putri anda." 

Raja memerintahkan semua yang diminta Gianmatteo untuk segera disediakan. Minggu pagi tiba. Upacara dan doa-doa yang khusyuk dilakukan. Setelah itu putri yang kesurupan dibawa ke panggung oleh dua orang uskup dan dua orang bangsawan. Ketika Roderick melihat para pembesar istana dan pejabat kota berkumpul dengan pakaian kebesaran meraka di satu panggung, ia menggumam: "Apa yang akan dilakukan si bangsat murahan itu? Dia fikir aku akan gemetar ketakutan menghadapi pameran seperti ini? Tidakkah dia tahu bahwa aku sudah terbiasa melihat gemerlap sorga dan carut marut neraka?"

Ketika Gianmatteo datang kepadanya dan meminta kepadanya agar pergi dari tubuh putri raja, Roderick menjawab: "Oh, bedebah yang manis, kau fikir kau bisa berbuat banyak dengan kerumunan orang seperti ini? Kau fikir kau bisa lepas dari kekuasaanku dan bebas dari cengkeraman amarah raja? Kau pengkhianat murahan, aku ingin melihat kau digantung."  Mendengar kutuk dan sumpah serapah seperti itu, Gianmatteo tahu, tak ada waktu lagi baginya untuk memohon belas kasih Roderick. Lalu diangkatnya topinya dan para pemain musik segera memainkan alat di tangan mereka dan berjalan masuk ke panggung. Tak jelas mereka memainkan irama apa, Roderick menutup telinganya karena permainan mereka sedemikian bising. Tak tahu apa lagi yang akan terjadi, dengan gelisah ia menanyakan ke Gianmatteo apa yang akan menyusul setelah ini. Gianmatteo manjawab dengan nada orang bingung: "Celaka, Roderick yang baik! Istrimulah yang akan datang kemari menemuimu."  Sungguh mencengangkan kata "istri" bagi Roderick. Ia sangat gelisah. Tanpa berfikir apakah benar atau tidak yang dinyatakan oleh Gianmatteo bahwa istrinya akan datang, ia segera keluar dari tubuh putri raja. Saat itu juga ia berkemas pulang ke neraka. Rasanya tak sanggup lagi ia melanjutkan pembuktiannya dengan sekali lagi menikahi seorang perempuan dan merasakan pedihnya.

Maka, begitulah, Belfagor --iblis terbesar yang sebelum dicampakkan dari sorga adalah malaikat terbesar-- pulang lagi ke neraka dan memberi laporan tentang istrinya dan segala macam penderitaan yang dibawa perempuan itu ke rumah mereka selama mereka menjadi suami istri. Dan Gianmatteo, yang jauh lebih tahu tentang kehidupan berumah tangga ketimbang para iblis, pulang ke rumah dengan bahagia.

read more …

ShoutMix chat widget