Agama sebagai kebudayaan
“Dasar pertama agama (dîn) adalah mengenal-Nya”. Perkataan di atas sangat tepat dan pada tempatnya, mengingat banyak orang yang beragama, tetapi tidak mengenal agamanya dengan baik. Padahal, mengenal agama seharusnya berada pada tahapan awal sebelum mengamalkan ajarannya. Tetapi secara realita, keberagamaan sebagian besar dari mereka tidak sebagaimana mestinya. Nah dalam kesempatan ini kami akan memberikan penjelasan tentang mengapa kita beragama dan bagaimana seharusnya kita beragama dan bagaimana seharusnya kita beragama? Sehingga kita beragama atas dasar bashirah (pengetahuan, pengertian dan bukti). Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah (wahai Muhammad), inilah jalan-Ku. Aku mengajak kepada Allah dengan bashirah (hujjah yang nyata).” (Q.S. Yusuf, 108). Namun, sebelum menjawab dua pertanyaan di atas, ada baiknya kami terlebih dahulu membicarakan tentang din itu sendiri. Apa itu din? Din berasal dari bahasa Arab dan dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 92 kali. Menurut arti bahasa(etimologi), din diartikan sebagai balasan dan ketaatan. Dalam arti balasan, Al-Qur’an menyebutkan kata din dalam surat Al-Fatihah ayat 4, maliki yawmiddin – “(Dialah) Pemilik (raja) hari pembalasan.“ Demikian pula dalam sebuah hadis, din diartikan sebagai ketaatan. Rasulullah saaw bersabda, “ad-dinu nashihah (Agama adalah ketaatan).” Sedangkan menurut terminologi Teologi, din diartikan sebagai sekumpulan keyakinan, hukum dan norma yang akan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Berdasarkan hal di atas, din mencakup tiga dimensi,
(1) keyakinan (aqidah),
(2) hukum (syariat) dan
(3) norma (akhlak).
Ketiga dimensi tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga satu sama lain saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Dengan menjalankan din, kebahagiaan, kedamaian dan ketenangan akan teraih di dunia dan di akhirat. Seseorang dikatakan mutadayyin (ber-din dengan baik), jika dia dapat melengkapi dirinya dengan tiga dimensi agama tersebut secara proporsional, sehingga dia pasti berbahagia. Dalam dimensi keyakinan atau aqidah, seseorang harus meyakini dan mengimani beberapa perkara dengan kokoh dan kuat, sehingga keyakinannya tersebut tidak dapat digoyahkan lagi. Keyakinan seperti itu akan diperoleh seseorang dengan argumentasi (dalil aqli) yang dapat dipertahankan. Keyakinan ini pada intinya berkisar pada keimanan kepada Allah dan hari akhirat. Adapun syariat adalah konsekuensi logis dan praktis dari keyakinan. Mengamalkan syariat merupakan refresentasi dari keyakinan. Sehingga sulit dipercaya jika seseorang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhirat tetapi tidak mengindahkan syariat-Nya, karena syariat merupakan kewajiban dan larangan yang datang dari-Nya. Sedangkan akhlak adalah tuntutan akal-budi (aqal amali) yang mendorong seseorang untuk mengindahkan norma-norma dan meninggalkan keburukan-keburukan. Seseorang belum bisa dikatakan mutadayyin selagi tidak berakhlak - “la dina liman la akhlaqa lahu.” Demikian pula, keliru sekali jika seseorang terlalu mementingkan akhlak dari pada syariat. Dari ketiga dimensi din tersebut, keyakinan (aqidah) menduduki posisi yang paling prinsip dan menentukan. Dalam pengertian, bahwa yang menentukan seseorang itu mutadayyin atau tidak adalah keyakinannya. Dengan kata lain, yang memisahkan seseorang yang beragama dari yang tidak beragama (atheis) adalah keyakinannya. Lebih khusus lagi, bahwa keyakinanlah yang menjadikan seseorang itu disebut muslim, kristiani, yahudi atau lainnya.
Betulkah agama budaya?
Marilah kita kembali pada pertanyaan semula, “mengapa kita beragama ?” Manusia adalah satu spesies makhluk yang unik dan istimewa dibanding makhluk-makhluk lainnya, termasuk malaikat, karena manusia dicipta dari unsur yang berbeda, yaitu unsur hewani/materi dan unsur ruhani/immateri. Memang, dari unsur hewani manusia tidak lebih dari binatang, bahkan lebih lemah darinya. Bukankah banyak diantara binatang yang lebih kuat secara fisik dari manusia? Bukankah ada binatang yang memiliki ketajaman mata yang melebihi mata manusia? Bukankah ada pula binatang yang penciumannya lebih peka dan lebih tajam dari penciuman manusia? Dan sejumlah kelebihan-kelebihan lainnya yang dimiliki selain manusia. Sehubungan ini Allah swt berfirman, “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS. An-Nisa, 28). “Allah telah menciptakan kalian lemah, kemudian menjadi kuat, lalu setelah kuat kalian menjadi lemah dan tua.” (QS. Rum, 54). Masih banyak ayat lainnya yang menjelaskan hal serupa. Karena itu, sangatlah tidak pantas bagi manusia berbangga dengan penampilan fisiknya, disamping itu penampilan fisik adalah wahbi sifatnya (semata-mata pemberian dari Allah, bukan hasil usahanya). Kelebihan manusia terletak pada unsur ruhani (mencakup hati dan akal, keduanya bukan materi). Dengan akalnya, manusia yang lemah secara fisik dapat menguasai dunia dan mengatur segala yang ada di atasnya. Karena unsur inilah Allah menciptakan segala yang ada di langit dan di bumi untuk manusia (Lihat surat Luqman ayat 20). Dalam salah satu ayat Al-Qur’an ditegaskan, “Sungguh telah kami muliakan anak-anak Adam, kami berikan kekuasaan kepada mereka di darat dan di laut, serta kami anugerahi mereka rizki. Dan sungguh kami utamakan mereka di atas kebanyakan makhluk Kami lainnya.” (QS. Al-Isra 70). Unsur akal pada manusia, awalnya masih berupa potensi (bil-quwwah) yang perlu difaktualkan (bil-fi’li) dan ditampakkan. Oleh karena itu, jika sebagian manusia lebih utama dari sebagian lainnya, maka hal itu semata-mata karena hasil usahanya sendiri, karena itu dia berhak berbangga atas lainnya. Sebagian mereka ada pula yang tidak berusaha memfaktualkan dan menampakkan potensinya itu, atau memfaktualkannya hanya untuk memuaskan tuntutan hewaninya, maka orang itu sama dengan binatang, bahkan lebih hina dari binatang (QS. Al-A’raf 170 dan Al-Furqan 42). Termasuk ke dalam unsur ruhani adalah fitrah. Manusia memiliki fitrah yang merupakan modal terbesar manusia untuk maju dan sempurna. Din adalah bagian dari fitrah manusia. Dalam kitab Fitrat (edisi bahasa Parsi), Syahid Muthahhari menyebutkan adanya lima macam fitrah (kecenderungan) dalam diri manusia, yaitu mencari kebenaran (haqiqat), condong kepada kebaikan, condong kepada keindahan, berkarya (kreasi) dan cinta (isyq) atau menyembah (beragama). Sedangkan menurut Syeikh Ja’far Subhani,terdapat empat macam kecenderungan pada manusia,dengan tanpa memasukan kecenderungan berkarya seperti pendapat Syahid Muthahhari (kitab al-Ilahiyyat, juz 1). Kecenderungan beragama merupakan bagian dari fitrah manusia. Manusia diciptakan oleh allah dalam bentuk cenderung beragama,dalam arti manusia mencintai kesempurnaan yang mutlak dan hakiki serta ingin menyembah pemilik kesempurnaan tersebut. Syeikh Taqi Mishbah Yazdi, dalam kitab Ma’arif Al-Qur’an juz 1 hal. 37, menyebutkan adanya dua ciri fitrah, baik fitrah beragama maupun lainnya, yang terdapat pada manusia, yaitu pertama kecenderungan-kecenderungan (fitrah) tersebut diperoleh tanpa usaha atau ada dengan sendirinya, dan kedua fitrah tersebut ada pada semua manusia walaupun keberadaannya pada setiap orang berbeda, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Dengan demikian, manusia tidak harus dipaksa beragama, namun cukup kembali pada dirinya untuk menyambut suara dan panggilan hatinya, bahwa ada sesuatu yang menciptakan dirinya dan alam sekitarnya. Meskipun kecenderungan beragama adalah suatu yang fitri, namun untuk menentukan siapa atau apa yang pantas dicintai dan disembah bukan merupakan bagian dari fitrah, melainkan tugas akal yang dapat menentukannya. Jadi jawaban dari pertanyaan mengapa manusia harus beragama, adalah bahwa beragama merupakan fitrah manusia. Allah Ta’ala berfirman, “Maka hadapkanlah wajahmu kepada din dengan lurus, sebagai fitrah Allah yang atasnya manusia diciptakan.” (QS. Rum 30).
Sekilas Teori-teori Kemunculan Agama
Kaum materialis memiliki sejumlah teori tentang kemunculan agama, antara lain: 1. Agama muncul karena kebodohan manusia. Sebagian mereka berpendapat, bahwa agama muncul karena kebodohan manusia. August Comte peletak dasar aliran positivisme menyebutkan, bahwa perkembangan pemikiran manusia dimulai dari kebodohan manusia tentang rahasia alam atau ekosistem jagat raya. Pada mulanya periode primitif karena manusia tidak mengetahui rahasia alam, maka mereka menyandarkan segala fenomena alam kepada Dzat yang ghaib. Namun, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan (sains) sampai pada batas segala sesuatu terkuak dengan ilmu yang empiris, maka keyakinan terhadap yang ghaib tidak lagi mempunyai tempat di tengah-tengah mereka. Konsekuensi logis teori di atas, adalah makin pandai seseorang akan makin jauh ia dari agama bahkan akhirnya tidak beragama, dan makin bodoh seseorang maka makin kuat agamanya. Padahal, betapa banyak orang pandai yang beragama, seperti Albert Einstein, Charles Darwin, Hegel dan lainnya. Demikian sebaliknya, alangkah banyak orang bodoh yang tidak beragama. 2. Agama muncul karena kelemahan jiwa (takut) Teori ini mengatakan, bahwa munculnya agama karena perasaan takut terhadap Tuhan dan akhir kehidupan. Namun, bagi orang-orang yang berani keyakinan seperti itu tidak akan muncul. Teori ini dipelopori oleh Bertnart Russel. Jadi, menurut teori ini agama adalah indikasi dari rasa takut. Memang takut kepada Tuhan dan hari akhirat, merupakan ciri orang yang beragama. Tetapi agama muncul bukan karena faktor ini, sebab seseorang merasa takut kepada Tuhan setelah ia meyakini adanya Tuhan. Jadi, takut merupakan akibat dari meyakini adanya Tuhan (baca beragama). 3. Agama adalah produk penguasa Karl Marx mengatakan bahwa agama merupakan produk para penguasa yang diberlakukan atas rakyat yang tertindas, sebagai upaya agar mereka tidak berontak dan menerima keberadaan sosial ekonomi. Mereka (rakyat tertindas) diharapkan terhibur dengan doktrin-doktrin agama, seperti harus sabar, menerima takdir, jangan marah dan lainnya. Namun, ketika tatanan masyarakat berubah menjadi masyarakat sosial yang tidak mengenal perbedaan kelas sosial dan ekonomi, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara penguasa dan rakyat yang tertindas dan tidak ada lagi perbedaan antara si kaya dan si miskin, maka agama dengan sendirinya akan hilang. Kenyataannya, teori di atas gagal. Terbukti bahwa negara komunis sosialis sebesar Uni Soviet pun tidak berhasil menghapus agama dari para pemeluknya, sekalipun dengan cara kekerasan. 4. Agama adalah produk orang-orang lemah Teori ini berseberangan dengan teori-teori sebelumnya. Teori ini mengatakan, bahwa agama hanyalah suatu perisai yang diciptakan oleh orang-orang lemah untuk membatasi kekuasaan orang-orang kuat. Norma-norma kemanusiaan seperti kedermawanan, belas kasih, kesatriaan, keadilan dan lainnya sengaja disebarkan oleh orang-orang lemah untuk menipu orang-orang kuat, sehingga mereka terpaksa mengurangi pengaruh kekuatan dan kekuasaannya. Teori ini dipelopori Nietzche, seorang filusuf Jerman. Teori di atas terbantahkan jika kita lihat kenyataan sejarah, bahwa tidak sedikit dari pembawa agama adalah para penguasa dan orang kuat misalnya Nabi Sulaiman dan Nabi Daud keduanya adalah raja yang kuat. Sebenarnya, mereka ingin menghapus agama dan menggantikannya dengan sesuatu yang mereka anggap lebih sempurna (seperti, ilmu pengetahuan menurut August Comte, kekuasaan dan kekuatan menurut Nietszche, komunis sosialisme menurut Karl Marx dan lainnya). Padahal mencintai dan menyembah kesempurnaan adalah fitrah. Perbedaan kaum agamawan dengan mereka, adalah bahwa kaum agamawan mendapatkan kesempurnaan yang mutlak hanya pada Tuhan. Jadi, sebenarnya mereka (kaum Atheis) beragama dengan pikiran mereka sendiri. Atau dengan kata lain, mereka mempertuhankan diri mereka sendiri.
Resopa Temmangingngi Namalomo Naletei Pammase dewata...
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
1 komentar:
agama hanyalah tempat bersembunyi bagi orang2 yg takut akan sesuatu dan dirinya sendri,,,,,
Posting Komentar