Resopa Temmangingngi Namalomo Naletei Pammase dewata...
Home » » POLA PEMIKIRAN NEO-LIBERALISME

POLA PEMIKIRAN NEO-LIBERALISME

Neo-liberalisme, Pasar Bebas, Globalisasi – beberapa kata yang semakin lama semakin sering terdengar, walaupun rata-rata kita belum betul-betul memahami arti kata-kata yang misterius itu, apalagi dampak besarnya terhadap kehidupan sehari-hari kaum tani. Massa petani tidak perlu merasa minder jika masih kurang memahami arti kata-kata ini, serta jangan merasa tidak memahaminya karena bodoh, atau karena tidak cukup mampu untuk memahaminya.

Ketidak-fahaman itu terjadi, justru menjadi keinginan dan tujuan dari para pendukung Neoliberalisme. Lembaga pendukung Neoliberalisme itu menggunakan istilah Pasar Bebas, dan Globalisasi sebagai topeng untuk menutupi kejahatannya. Lembaga-lembaga yang bertanggung jawab untuk mengatur dan melaksanakan kebijakan neo-liberalisme (seperti pasar bebas), itu sendirilah yang memang tidak terbuka, tidak demokrasis, dan tidak memberi peluang kepada rakyat miskin dan tertindas, termasuk kaum tani, untuk mengetahui dan mempengaruhi kebijakan mereka. Pendek kata, mereka tidak mau rakyat miskin dan tertindas memahami atau diberi peluang untuk mempengaruhi berbagai kebijakan dan mekanisme yang mereka miliki. Padahal, kebijakan dan mekanisme yang mereka buat itulah yang mengakibatkan yang miskin semakin miskin dan yang kaya semakin kaya. Mereka menjadikan kebudayaan, sejarah, dan kehidupan kita menjadi sekedar
‘bahan-bahan dagangan’ yang patut diperjual-belikan. Neoliberalisme, Pasar Bebas, dan Globalisasi adalah kata lain dari penjajahan model baru (Neoimprealisme).

Neo-liberalisme
Neo-liberalisme adalah sebuah pola pemikiran politik (ideologi} Barat yang berdasarkan pada kesenjangan sosial. Dasar pemikirannya adalah bahwa yang lemah/miskin harus dikorbankan supaya yang kuat/kaya bisa berkembang dengan bebas, agar ekonomi nasional juga ikut berkembang. Menurut mereka, pada akhirnya yang lemah/miskin akan ikut mendapat manfaat dari ekonomi yang diharapkan sudah lebih cepat berkembang. Ideologi ini berdasarkan filsafat individualisme dan berusaha untuk menghapus unsur-unsur kemasyarakatan dan sikap gotong-royong. Jelas bahwa ideologi ini sangat bertentangandengan kebudayaan dan sistem  kemasyarakatan rakyat Indonesia.

Dalam pola pemikiran neo-liberalisme, peraturan-peraturan ekonomilah yang harus menguasai sektor-sektor yang lain, bukan sebaliknya. Apa saja yang menghalangi perkembangan sektor ekonomi harus dicabut, termasuk peraturan-peraturan dan undang-undang pemerintah. Akibatnya, pemerintah tidak boleh lagi melestarikan lingkungan hidup, kesehatan, kesejahteraan rakyat, dan kedaulatan nasional, jika dianggap bahwa kebijakan-kebijakan itu menghambat ‘perkembangan ekonomi.’ Tapi dalam kenyataan, dalam 20 tahun belakangan ini, kesenjangan sosial semakin besar di hampir semua negara di dunia ini dibawah ‘rezime’ neo-liberalisme. 

Secara nyata, kebijakan neo-liberalisme mengakibatkan:
1. Pasar yang berkuasa.
Membebaskan kegiatan swasta dari peraturan dan kebijakan pemerintah, walaupun kegiatan swasta tersebut membawa dampak yang sangat buruk terhadap rakyat dan kehidupan kemasyarakatan. Hal ini terlihat dari gencarnya tekanan swasta terhadap pemerintah untuk memperlemah serikat buruh serta perlu diturunkannya upah buruh, bebasnya swasta membeli tanah petani seluas-luasnya dan selama-lamanya, dll.

2. Mengurangi biaya untuk fasilitas dan pembangunan umum.
Umpamanya dana untuk pendidikan, kesehatan, penyediaan air bersih, dan pembangungan daerah secara umum harus dikurangi. Tentu saja orang miskinlah yang akan terkena dampak yang paling besar

3. Mencabut peraturan.
Peraturan-peraturan yang mengganggu keuntungan ekonomi, harus dicabut atau sedikitnya dikurangi jumlahnya. Misalnya dengan menghapus atau mengganti peraturan tentangkewajiban melestarikan lingkungan  hidup, jaminan kondisi kerja, atau peraturan tentang kesehatan makanan dll.

4. Privatisasi/Swastanisasi
Dengan alasan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan kepada rakyat, maka perusahaan milik negara harus dijual, termasuk penjualan jenis-jenis usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Misalnya perusahaan air, listrik, sekolah, rumah sakit, bank dan perkereta-apian. Sektor-sektor ini memang perlu ditingkatkan pelayanannya kepada rakyat, namun bukan berarti bahwa perusahaan negara ini harus dijual kepada pihak swasta. Perusahaan milik negara yang sudah berada di tangan swasta, akhirnya juga mengalami kenaikan ongkos dan biaya yang harus dibayar oleh rakyat, dimana keuntungan atas kenaikan ongkos dan biaya itu hanya diperoleh oleh beberapa orang saja.

5. Pencabutan bantuan sosial.
Bantuan negara/pemerintah untuk orang yang paling miskin harus dicabut. Kelompok miskin ini dipaksa untuk mengatasi sendiri masalah kesehatan, pendidikan, dll yang mereka alami.

Pasar Bebas
Di tingkat internasional, paham neo-liberalisme berusaha untuk memudahkan perdagangan antara negara, supaya bahan-bahan, hasil bumi, dan perusahaan bisa bergerak secara lebih bebas dalam mencari bahan-bahan dan tenaga kerja yang lebih murah. Semua itu ditujukan untuk memperoleh keuntungan ekonomi yang paling tinggi. Menurut Neo-Liberalisme, salah satu cara untuk mencapai ini adalah dengan mencabut semua kontrol yang dianggap menghalangi pasar bebas, umpamanya tentang :
• Bea/cukai (tariffs)
• peraturan
• beberapa standar, undang-undang dll
• halangan investasi dan aliran lalu-lintas modal

Walaupun beberapa kebijakan pemerintah tersebut, telah dirumuskan dan ditetapkan secara demokratis demi untuk memenuhi tuntutan atau keinginan rakyat, namun jika peraturan itu dianggap menghalangi pasar bebas, maka peraturan-peraturan itu tetap tidak sah dan harus dicabut kembali oleh pemerintah
.
Di tingkat internasional, para agen neo-liberalisme yang utama adalah badan-badan internasional yaitu International Monetary Fund (IMF - Dana Moneter Internasional), Bank Dunia, dan World Trade Organisation (WTO–Organisasi Perdagangan Dunia), disamping masih banyak lagi pihak yang terlibat dalam proses neo-liberalisme ini. Pemain utama dalam badan-badan internasional tersebut adalah para konglomerat yang berdagang di tingkat internasional, yaitu perusahaan konglomerat raksasa internasional yang sering disebut TNC atau MNC (transnational corporations atau multinational corporations). Walaupun di tingkat internasional memang bisa dikatakan ada perkembangan dalam bidang perdagangan, namun ¾ dari total perdagangan tersebut hanya dikuasai dan dilakukan oleh sebanyak 40,000 konglomerat. Sebagai contoh, sebuah perusahaan mobil dari AS yaitu General Motors, menjual begitu banyak mobil setiap tahun dengan nilai perdagangan yang lebih besar dibandingkan dengan seluruh hasil ekonomi negara Turki. Kekuatan konglomerat tersebut, dimana sebanyak 90% berkedudukan di negara maju/kaya, sekarang ini kekuasaanya cenderung semakin lebih besar dibandingkan kekuatan pemerintahan. Kekuatan Konglomerat ini pada akhirnya dapat mendikte pasar, memanipulasi subsidi, memindahkan pusat kegiatannya kalau mulai mengalami kesulitan di suatu tempat, misalnya karena peraturan pemerintahan atau gencarnya tuntutan organisasi-organisasi rakyat. Konglomerat inilah yang mendapat manfaat yang paling besar dari proses Globalisasi, yaitu proses dan akibat pelaksanaan kebijakan-kebijakan neo-liberalisme di tingkat internasional.

Bank Dunia dan IMF
Bank Dunia serta IMF dapat memaksa negara-negara yang sedang berkembang untuk mengambil dan menjalankan kebijakan neo-liberalisme dan pasar bebas dengan istilah samaran “Penyesuaian Struktural” (structural adjustment). Istilah ini digunakan oleh Bank Dunia dan IMF, agar terlihat seolah-olah mereka ingin membantu mengembangkan ekonomi negara-negara miskin. Tapi penting untuk diingat, bahwa banyak masalah ekonomi yang dialami beberapa negara termasuk Indonesia disebabkan, atau sedikitnya dibuat lebih parah, oleh kebijakan-kebijakan lembaga-lembaga internasional yang pro neo-liberalisme itu. Umpamanya, krisis moneter tahun 1998 diakibatkan serta dimanfaatkan oleh beberapa orang ditingkat internasional yang ikut bermain di arena perjudian terbesar di dunia saat ini, yaitu spekulasi mata uang. Kalau negara-negara seperti Indonesia menolak menjalankan kebijakan pasar bebas (neo-liberalisme/neoimprealisme), maka hutang baru yang sebenarnya juga digunakan untuk pembayaran cicilan utang, akan dikurangi atau malah dihentikan oleh lembaga seperti Bank Dunia dan IMF (yang dikuasai AS karena memiliki saham yang paling besar), untuk memaksa negara miskin mengikuti keinginan mereka.

Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation – WTO)
WTO ini didirikan pada Putaran Uruguay dari rangkaian pertemuan GATT (General Agreement on Trade and Tariffs – Persetujuan Umum tentang Perdagangan dan Bea/Cukai) pada tahun 1994. WTO didirikan khusus untuk mengatur perdagangan internasional sekaligus untuk melaksanakan kebijakan neo-liberalisme. Rakyat miskin sama sekali tidak diberi kesempatan untuk mempengaruhi WTO. WTO sangat dipengaruhi oleh kepentingan Konglomerat Raksasa Internasional (TNC/MNC) dan oleh pemerintahan-pemerintahan yang kuat/kaya. Sebuah laporan yang disponsori PBB dan diajukan kepada Sub-komisi Hak Asasi Manusia di Jenewa, Swiss pada tahun ini menyebutkan bahwa WTO sebagai sebuah lembaga yang: “mencerminkan sebuah agenda yang hanya melayani kepentingan para konglomerat yang telah memonopoli perdagangan internasional.” (reflecting an agenda that serves only to promote dominant corporist interests that already monopolise the area of international trade).
Ada 137 negara yang merupakan anggota WTO, tetapi sebenarnya kedudukan dan keikutsertaan mereka tidaklah seimbang. Umpamanya, WTO berpusat di Jenewa, Swiss, salah satu negara yang paling mahal di dunia, dimana tidak semua negara mampu memiliki sebuah perwakilan yang menetap/permanen disana. Amerika Serikat diwakili oleh lebih Halaman 3 dari 8dari 250 orang, sementara di sisi lain, sedikitnya ada 30 negara yang sama sekali tidak punya perwakilan di sana. Perbedaan utama antara WTO dengan lembaga-lembaga lain yang berkepentingan soal perdagangan adalah, WTO punya kekuasaan untuk Penyelesaian Sengketa Perdagangan (PSP) dan dapat memaksa pemerintah untuk mematuhi dan menegakkan kebijakan dan peraturannya yang ada pada WTO. Padahal, hampir setiap keputusan yang diambil dalam proses PSP ini, bertujuan untuk mendukung kepentingan para konglomerat, dan merugikan kedaulatan negara karena peraturan nasional atau sub-nasional negara tersebut dianggap salah.
WTO dan Sektor Pertanian
Di dalam WTO, ada beberapa persetujuan yang telah atau sedang dibahas yang bersangkutan dengan sektor pertanian, yaitu Persetujuan Pertanian (Agreement on Agriculture – AOA), Hak Kekayaan Intelektual yang terkait dengan Perdagangan (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights – TRIPs) dan Tindakan untuk Kesehatan dan Kesehatan Tanaman (Sanitary and Phytosanity Measures – SPS).
Dampak pasar bebas yang paling besar terhadap sektor pertanian adalah paksaan terhadap negara yang berkembang, untuk mementingkan peningkatan produksi pertanian khusus untuk tujuan ekspor, yang sangat bertentangan dengan kepentingan negara miskin dalam memperoleh ketersediaan dan keadilan pangan di dalam negerinya sendiri. Perusahaan pertanian (agribisinis) yang besarlah yang mendapat keuntungan dari pemaksaan ini, dan yang dirugikan adalah para petani. Pasar bebas mengakibatkan semakin besarnya jumlah orang yang kelaparan, kerusakan lingkungan hidup, hancurnya keanekaragaman hayati, dan peminggiran hak-hak petani miskin atas tanah, bibit dan pengetahuan adat/tradisional. Tetapi, bagi para investor dan pengusaha besar sektor pertanian, pasar bebas memberi peluang yang sangat besar untuk dapat menguasai sektor pertanian dan semakin berpengaruh dalam menentukan kebijakan pertanian, baik ditingkat nasional maupun internasional. Para konglomerat sektor pertanian diberikan kemudahan di seluruh negara, serta diberi kesempatan untuk menjual kelebihan produk mereka di suatu negara ke negara lain dengan harga dibawah ongkos produksi. Tentu saja petani lokal tidak bisa bersaing dengan kondisi-kondisi seperti ini. Semakin hari semakin banyak petani di seluruh dunia ini kehilangan tanah dan pekerjaan. Sebagian besar dipaksa pindah ke kota untuk mencari kerja, walaupun yang mereka temui adalah kemiskinan dan kelaparan juga. Teknologi-teknologi modern – pupuk kimia, racun pestisida, bibit yang direkayasa dll – telah memojokkan kekayaan lingkungan hidup, ketrampilan dan jati diri banyak petani.
Persetujuan Pertanian – AOA. AOA ini adalah persetujuan utama dibawah WTO yang mengatur perdagangan pertanian. Anggota WTO (yaitu negara) diwajibkan untuk menghapus semua peraturan dan tindakan yang mengganggu pasar, seperti kontrol terhadap import dan subsidi terhadap petani. Tetapi di lain pihak, WTO justru membiarkan negara Uni Eropa serta AS untuk memelihara sektor pertanian mereka.Walaupun masih ada beberapa subsidi dari pemerintah yang diizinkan oleh WTO, tetapi semua jenis subsidi-subsidi yang diizinkan ini berada diluar kemampuan keuangan atau kemampuan teknis negara-negara yang sedang berkembang. Pendek kata, AOA memperluas pasar untuk konglomerat internasional sepeti Cargill dan Archer Daniels Midland dari AS, dan disisi lain memperkecil kesempatan petani dan mengancam keadilan pangan negara-negara miskin dan sedang berkembang.
Hak Kekayaan Intelektual yang terkait dengan Perdagangan – TRIPs. TRIPs ini meningkatkan kebijakan AS di mana “siapa yang mendaftarkan pertama kali, maka akan mendapat Hak Paten” di tingkat internasional. Di bawah TRIPs, sebuah konglomerat dapat diberi paten (yaitu memiliki) sejenis bibit beras yang ditanam beratusan tahun di India, sejenis tanaman obat dari rimba Amazon, ataupun DNA (peta genetika) tubuh kita sendiri. Misalnya, walaupun tempe telah ratusan tahun dibuat dan dijual di Indonesia berdasarkan pengetahuan lokal, namun beberapa cara pembuatan tempe sekarang telah ‘dimiliki’ oleh sebuah perusahaan Jepang. Jika perusahaan ini mengetahui bahwa bahwa ada petani di Jawa yang menggunakan
cara yang telah “menjadi milik” mereka, maka petani itu diwajibkan untuk membayar royalti kepada pemilik paten cara membuat tempe itu. Padahal, perusahaan itu memperoleh pengetahuan tentang proses pembuatan tempe itu dari petani Jawa sendiri. Selain sebuah perusahaan dapat memiliki ‘hak cipta’ atas bahan-bahan alami, Hak Paten juga dapat diberikan terhadap hasil-hasil penerapan ‘bioteknologi,’ umpamanya bibit-bibit beras yang telah direkayasa. Contohnya, sekarang ada bibit yang mengandung pestisida, yang tahan terhadap penggunaan pestisida, serta bibit yang ‘bunuh diri’ (Terminator) yaitu bibit yang tidak dapat disimpan dan dipakai lagi pada musim tanam berikutnya. Dengan adanya bibit terminator ini, petani dipaksa membeli bibit kembali setiap tahun kepada para pengusaha agribisnis yang juga menjual pestisida perusak lingkungan dan kesehatan manusia itu.

• Tindakan untuk Kesehatan dan Kesehatan Tanaman – SPS. Peraturan ini dibuat untuk menetapkan standar-standar kesehatan manusia, ternak, tanaman, serta peraturan keamanan kerja (safety regulations). Hanya saja, semakin hari semakin jelas bahwa persetujuan ini dipakai untuk menghalangi kesempatan negara yang sedang berkembang memanfaatkan pasar ‘bebas’ ini. Selain itu, ada kemungkinan besar bahwa tekanan dari AS di WTO akan mengakibatkan tidak diperbolehkannya negara-negara sedang berkembang membuat peraturan yang melarang impor produk makanan yang mengandung GMO (bahan-bahan yang direkayasa secara genetika – Genetically Modified Organisms). Jadi, SPS ini melindungi perdagangan dengan mengorbankan perlindungan para konsumen.

Keanekaragam Peranan Sektor Pertanian
Sektor pertanian harus diakui merupakan sektor yang lebih dari hanya sekedar sebuah paket industri, seperti industri sepatu misalnya. Petani adalah pelindung sah lingkungan hidup. Sektor pertanian tidak hanya memberi makanan dan pakaian kepada manusia selama ribuan tahun, tetapi juga menjamin dan melindungi sebuah ekosistem yang sehat. Penghancuran kehidupan petani adalah penghancuran lingkungan hidup, sejarah, kebudayaan serta peradaban dari sejumlah besar penduduk duniai. Itu sebabnya mengapa beberapa pihak, termasuk Uni Eropa (walaupun tentu demi kepentingannya sendiri), telah menuntut supaya sektor pertanian tidak boleh diatur oleh WTO.

Dari uraian di atas, maka berkaitan dengan Neo-liberalisme dan Pasar Bebas, kita melihat bahwa:
1. Dunia ini semakin dikuasai oleh para konglomerat, dan tidak lagi oleh pemerintah. Dari 100 ekonomi dunia yang paling kuat, 51 diantaranya adalah perusahaan dan 49 sisanya adalah negara. Angka ini akan semakin besar dalam sistem ekonomi dunia yang sekarang ini.

2. Negara-negara kaya dan berkuasa, yang mewakili kepentingan pengusaha raksasa, dapat menggagalkan dan menghancurkan proses demokratisasi dan kedaulatan Indonesia dan negara-negara lain, dengan memanfaatkan WTO. Apalagi, WTO adalah lembaga yang menolak pengaruh masyarakat terutama yang berasal dari rakyat miskin.

3. Sistem neo-liberalisme tidak menghasilkan kesempatan kerja dan kesejahteraan untuk semua, malah mengakibatkan kesenjangan sosial yang semakin besar. Kekayaan dipindahkan dari lapisan bawah ke lapisan atas. Kalau kita termasuk golongan 20% orang terkaya di dunia, tentu kita akan dapat keuntungan dari sistem neo-liberalisme ini. Tapi kalau kita termasuk golongan 80% orang yang tersisa, kita akan semakin miskin. Selama 20 tahun belakang ini, hampir setiap negara mengalami kesenjangan sosial yang main lebar.

4. Selama 20 tahun belakangan ini, perdagangan internasional di negara yang kurang berkembang justru menurun.

5. Pihak yang mendapat keuntungan dari neo-liberalisme dan pasar bebas ini sebenarnya lebih berminat untuk bermain spekulasi mata-uang dan membeli saham, daripada membangun perusahaan-perusahaan yang membuka kesempatan kerja kepada orang miskin. Spekulasi mata-uang ini, telah mengakibatkan krisis ekonomi di Asia Tenggara dimana ratusan ribu orang telah di PHK.

6. Negara-negara yang sedang berkembang dilarang memelihara dan mengembangkan industri mereka seperti yang dilakukan dan dialami negara industri.

7. Pengusaha kecil mengalami kebangkrutan karena begitu banyak barang-barang murah yang diimpor dari luar negeri tanpa boleh dibatasi.

8. Neo-liberalisme tidak memperkuat ekonomi negara-negara miskin namun semakin membuatnya miskin. Neo-liberalisme mengakibatkan terjeratnya negara miskin dalam hutang luar negeri yang sangat parah.

Berkaitan dengan kebijakan neo-liberalisme dalam sektor pertanian, kita melihat bahwa:
1. Pasar bebas di sektor pertanian menghancurkan keamanan, ketersediaan, keadilan, dan kedaulatan pangan di banyak negara. Indonesia sadar dan tidak sadar, telah dipaksa menanam produk-produk untuk diekspor. Padahal kemampuan sebuah negara untuk menjamin keadilan pangan adalah hak setiap negara yang berdaulat.

2. Gencarnya proses pengalihan jenis tanaman yang selama ini bersifat campuran menjadi sistem perkebunan dan pertanian monokultur (satu jenis tanaman). Peralihan ini mengakibatkan terusirnya petani dari tanahnya akibat penurunan pendapatan. Sistem monokultur mengancam keamanan pendapatan bagi petani karena harga produk pertanian menjadi tergantung pada pasar internasional. Petani Indonesia tidak akan dapat bersaing dengan perusahaan agribisnis internasional karena tidak bisa lagi memberikan subsidi pada sektor pertanian, sementara perusahaan internasional tersebut masih bisa menggunakan kebijakan subsidi. Dengan demikian, perusahaan internasional itu dapat menjual dengan harga yang lebih murah. Petani kemudian hanya menjadi buruh perusahaan perkebunan besar.

3. Perusahaan monokultur menghancurkan lingkungan hidup. Di Amerika Serikat, 90% lapisan tanah subur (topsoil) telah hancur dimana upaya-upaya untuk memperbaikinya kembali, jauh lebih sulit dan membutuhkan waktu yang sangat lama. Semua ini terjadi akibat penerapan teknologi pertanian padat modal dan padat teknologi tinggi.

4. Kebijakan menjual kelebihan produksi pertanian dengan harga murah (dumping) yang dipraktekkan perusahaan agribisnis internasional mengakibatkan terusirnya petani dari kegiatan perdagangan hasil pertanian. Contohnya, penjualan jagung oleh perusahaan multinasional AS dengan harga yang sangat rendah, menyebabkan sekitar satu juta petani Pilipina kehilangan pekerjaan. Halaman 6 dari 85. Pengenalan bibit unggul dan tanaman ekspor, telah meningkatkan serangan hama, sementara penggunaan racun pestisida telah meracuni lingkungan dan keluarga petani. Meledaknya hama wereng untuk pertama kalinya di Asia Tenggara pada awal 1970-an, merupakan akibat dari diperkenalkannya bibit unggul padi, yang telah diperkenalkan pada tahun 1967 di Indonesia.

6. Hak paten atas benih dibawah aturan TRIPs (hak2 kekayaan intelektual yang berhubungan dengan perdagangan) memberikan peluang bagi perusahaan raksasa internasional untuk mencuri pengetahuan dan bahan-bahan lokal dari penduduk asli. Setelah mereka memperoleh Hak Paten atas pengetahuan dan bahan-bahan lokal tersebut, mereka lalu menjualnya kembali kepada penduduk asli itu dengan harga yang sangat tinggi. Negara miskin tidak akan dapat bersaing dengan perusahaan raksasa internasional dalam industri berteknologi tinggi yang sangat mahal ini.

7. Hak paten atas produk-produk pertanian memberi keuntungan yang sangat besar kepada perusahaan raksasa internasional dengan memanfaatkan pengetahuan yang telah dikembangkan oleh nenek-moyang kita selama ratusan tahun. Sebagai contoh, di Thailand tanaman Plao-noi telah digunakan sebagai tanaman obat selama berabad-abad. Sekarang perusahaan Jepang Sankyo telah mendaftarkan tanaman ini menjadi hak patennya dan menjualnya dalam bentuk tablet untuk pengobatan sakit lambung. Perusahaan ini memperoleh sekitar US$ 40 juta pada tahun 1987 dari penjualan produk ini. Walaupun mereka mempelajari teknik pengobatan ini dari petani dari Provinsi Prachuabkeereekhan, tapi para petani itu tidak memperoleh apa-apa.

8. Hak paten dan bioteknologi meningkatkan penggunaan racun pestisida dan menghancurkan keswadayaan petani akibat penerapan teknologi pertanian seperti padi tahan herbisida, padi rekayasa genetik yang mengandung pestisida, serta padi hibrida yang bibitnya tidak dapat disimpan untuk ditanam kembali akibat penggunaan teknologi benih terminator.

Setelah melakukan pengamatan dan analisa terhadap berbagai kebijakan dan akibat- akibat yang ditimbulkan oleh Neo-Liberalisme tersebut di atas, maka kita harusnya menyatakan sikap
1. Neo-liberalism sangat bertentangan dengan kebudayaan dan sistem kemasyarakatan rakyat Indonesia. Neo-liberalisme diciptakan oleh sebuah kelompok manusia untuk kepentingannya sendiri. Dengan demikian, petani punya hak dan kemampuan untuk menolak ideologi politik ini, dengan membangun sebuah pola pembangunan yang lebih sesuai dengan karakter sosial-budaya rakyat Indonesia.

2. FSPI melihat bahwa semakin hari semakin jelas bahwa perjuangan melawan neoliberalisme ini merupakan perlawanan antara rakyat di seluruh dunia berhadapan dengan para pengusaha besar (TNC), bukan perlawanan antar-negara. Dengan demikian, saatnya menyerukan rakyat kecil, miskin, dan tertindas oleh neoliberalisme agar bersatu membangun jaringan internasional yang kuat.

3. Sektor pertanian bukanlah sekedar sebuah sektor perindustrian belaka. Pertanian adalah sejarah, kebudayaan dan kehidupan manusia. Para petani adalah pelindung sah lingkungan hidup. Oleh sebab itu, sektor pertanian tidak pantas diatur oleh WTO.

4. Pembaruan Agraria yang sejati tidak dapat dilaksanakan di bawah sistem ekonomi yang berdasarkan neo-liberalisme. Apa gunanya memberi tanah kepada rakyat, kalau kondisi ekonomi global tidak memungkinkan mereka berkembang? Kebijakan2 neo-liberal harus ditentang dan dihancurkan, agar Pembaruan Agraria yang sejati, dapat dilaksanakan.

5. Pembaruan Agraria yang sejati harus dilaksanakan dalam kenyataan dan praktek sehari-hari oleh para petani sebagai tantangan terhadap kebijakan ekonomi neo-liberal, dengan mementingkan sebuah sistem pertanian yang berkelanjutan, terpadu, alami, organik dan dikelola oleh keluarga petani.

6. Pertanian di tingkat nasional harus kembali mementingkan ketersediaan dan keadilan pangan bagi rakyat Indonesia, dan bukan untuk melayani kepentingan pasar internasional. Rakyat Indonesia harus menanam apa yang mereka makan, supaya Indonesia bisa mandiri dan memperoleh kembali kedaulatan pangannya.

7. Utang Negara-Negara Dunia Ketiga (negara-negara miskin) adalah tidak sah. Utang itu adalah utang beberapa orang yang korup dari para elite. Merekalah yang harus bertanggungjawab atas utang ini, bukan rakyat Indonesia secara keseluruhan.

0 komentar:

Posting Komentar


ShoutMix chat widget