Petani adalah mayoritas dalam masyarakat kita. Sejak kita mencanangkan bahwa tujuan dari perjuangan kita adalah untuk mengangkat harkat dan nasib rakyat agar berdaulat, maka mau tak mau kita mesti juga mengangkat harkat kaum tani kita. Tanpa perjuangan bagi pembebasan kaum tani maka tak akan ada pembebasan seluruh rakyat Indonesia. Hal itu pula lah yang selama ini disadari oleh para pejuang rakyat di berbagai negeri berkembang, dimana mereka hidup dalam masyarakat agraris. Begitu pula yang disadari oleh para pejuang kemerdekaan kita dahulu yang menekankan bahwa kaum tani adalah soko guru revolusi kita. Seorang kader yang diterjunkan di suatu wilayah pengorganisasian tani mesti memahami watak dari kaum tani itu sendiri secara umum. Artinya adalah memahami bahwa kaum tani kita adalah lapisan masyarakat yang paling sedikit tersentuh oleh ide-ide perubahan. Hal ini bisa di pahami karena memang selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru, kaum tanilah yang selama ini paling mengalami proses pembodohan. Pembodohan yang dilakukan oleh Orde Baru secara sistematis ini berangkat dari kesimpulan mereka mengenai potensi perlawanan kaum tani. Orde Baru meyakini bahwa hanya dengan melakukan proses pembodohan dan penindasan aspirasi kaum tani bersama kaum buruh, mereka bisa meredam oposisi dari sebagian besar rakyat Indonesia. Mereka sepenuhnya menyadari jika kaum tani melakukan perlawanan mereka akan menghadapi perlawanan yang bersifat menyeluruh dari rakyat. Oleh karena itu tak mengherankan jika Orde Baru mencengkeramkan kuku-kuku kekuasaannya dengan cara menempatkan aparat birokrasi sipil dan militer hingga ke tingkat pedesaan. Di samping itu, selama 32 tahun ini, Orde Baru berusaha memisahkan kaum tani kita dari segala pengaruh ide-ide perubahan yang selama ini berkembang di kota. Berbeda dengan kaum buruh di kota yang lebih cepat menangkap ide-ide perubahan, kaum tani relatif lebih lambat.
Situasi pedesaan yang jauh dari akses informasi menyebabkan mereka lebih sering dicekoki oleh propaganda dari pemerintah melalui aparat-aparat desa yang berfungsi sebagai penguasa tunggal desa. Kalaupun kapitalisme (modal) sudah banyak melakukan penetrasi ke pedesaan—dimana banyak tanah kaum tani dijadikan lahan perkebunan—namun ia disertai proses represi politik dan ideologis terhadap kaum tani. Sisa-sisa feodalisme yang masih bercokol di kalangan kaum tani menyebabkan mereka harus menerima pemerintah sebagai bapak mereka. Sering pula masuknya modal ke desa ini memanfaatkan pengaruh tokoh-tokoh masyarakat setempat (yang dihormati kaum tani). Berbagai alasan kultural maupun agama sering disalahgunakan oleh mereka untuk menundukkan aspirasi kaum tani. Oleh karena itu pula kita sebenarnya menghadapi tantangan yang lebih sulit dalam menyadarkan kaum tani kita.
Seorang kader tidak boleh memaksakan kehendak dalam mendorong perjuangan kaum tani. Dibutuhkan kesabaran seorang kader dalam menumbuhkan kesadaran kaum tani. Hal ini terutama terjadi di wilayah-wilayah pengorganisasian yang konfliknya masih laten (belum terbuka). Hal ini berbeda dengan wilayah-wilayah yang mengalami konflik terbuka seperti daerah yang mengalami penggusuran, konflik dengan aparat desa ataupun wilayah-wilayah perkebunan, yang biaasanya menyimpan potensi konflik yang tinggi.
Untuk menghindari sektarianisme di kalangan massa petani maka kita juga mesti memperkenalkan mereka dengan perjuangan massa di kota. Pada tahap awal perlu juga kita membawa aktivis-aktivis mahasiswa ataupun buruh dari kota yang bersolidaritas dengan perjuangan kaum tani. Pada tahap yang lebih lanjut kita bisa mendorong petani untuk melakukan aksi dengan sektor-sektor masyarakat lainnya di kota. Hal ini bisa dilakukan secara bertingkat mulai dari tingkat kabupaten, ibukota propinsi ataupun ibukota negara. Cara lain untuk mengikis sektarianisme adalah dengan mendorong aksi solidaritas kaum tani dari sebuah desa dengan kaum tani dari desa lainnya, yang memiliki kasus berbeda.
Tentu saja proses ini tidak berjalan mulus begitu saja. Seorang kader kaum tani tidak boleh mudah putus asa. Karena berbeda dengan pengorganisasian sektor-sektor perkotaan (seperti buruh, mahasiswa, maupun kaum miskin kota), pengorganisasian kaum tani sering berjalan lambat. Oleh karena itu untuk lebih mempercepat perekrutan kader-kader pemuda tani yang potensial, sangat dianjurkan untuk memprioritaskan penggalangan di wilayah-wilayah perkebunan yang seringkali konfliknya sudah sangat terbuka.
Penting untuk dicatat di sini bahwa pengorganisasian petani membutuhkan kreativitas yang tinggi. Artinya seorang kader perjuangan tani mesti bisa memanfaatkan instrumen-instrumen yang beragam. Tidak ada salahnya seorang kader menggunakan media budaya untuk melakukan pendekatan, penyadaran dan pengorganisasian petani. Bahkan dalam banyak kasus, media budaya rakyat (seperti wayang, ketoprak, ludruk, dan semacamnya) bisa sangat membantu. Mengingat tantangan yang demikian besarnya di lapangan pengorganisasian tani, maka yang kita butuhkan dalam hal ini adalah militansi para kader. Terlebih lagi para kader yang berasal dari kota. Tuntutan untuk melakukan interaksi dan integrasi total inilah yang sering kali menggagalkan kita untuk membangun basis pengorganisasian tani yang meluas, kuat dan tangguh.
Untuk mengatasi problem inilah saya berpendapat bahwa rekrutmen kader dari kota harus dibarengi dengan prioritas menseleksi kader dari kalangan pemuda tani itu sendiri. Setidaknya pada kalangan pemuda tani kita tak terlalu kesulitan dalam menghadapi problem interaksi dan integrasi ini. Mereka lebih mengenal kultur masyarakat tempat mereka tinggal. Jika saja kita berhasil dalam menyeleksi kader pemuda tani yang potensial dan tepat cara pengolahannya, maka kita akan dipermudah dalam pekerjaan. Sementara pada saat bersamaan, kader-kader muda kota bisa lebih diprioritaskan untuk melakukan pengorganisasian buruh kota maupun kaum miskin kota. Setidaknya dengan kalangan ini kita tak banyak mengalami hambatan berinteraksi secara kultural.
Mungkin sebagaian orang akan mengatakan bahwa otonomi daerah adalah sebuah durian yang cepat atau lambat akan jatuh di dekatnya dan dengan segera dapat dinikmati sepuas dan maksimal mungkin. Kenapa hanya sebagian kecil masyarakat karena selama ini mayoritas rakyat hanya objek dari segala kebijakan dalam sebuah bingkai yang bernama pembangunan. Pertama kali yang perlu kita teguhkan dalam menyikapi akan diberlakukannya peraturan tentang otonomi daerah adalah pertama, kemungkinan terbesar, momen itu hanyalah sebuah inisiasi perpindahan kekuasaan ekonomi politik dari tangan penguasa nasional ke pangkuan para pemngyuasa local, kedua, tidak ada sebuah jaminan bahwa pemberlakuan otonomi daerah akan meningkatkan kesejahteraan dan keadilan social bagi rakyat miskin mayoritas. Dua hal ini akan berlaku disetiap sector perekonomian rakyat, baik buruh, kaum miskin perkotaan dan para petani.
Pada tahun 1997 adala sebuah kejadian yang ironis dan tragis ketika Soreharto menerima penghargaan FAO karena telah mampu menangani masalah pangan namun pada saat yang bersamaan terjadi kelaparan pada saudara kita di Papua Barat (pada saat itu bernama Irian Jaya).
Pertanian adalah sector yang sangat vital dalam kehidupan manusia. Karena sector inilah yang akan mendukung keberlangsungan sebuah bangsa dimanapun berada.
Incaran kepetingan kaum neo-liberal
Beberapa waktu yang lalu dan hingga kinipun belum ada penyelesaian pemerintah yang benar-benar berpihak pada kepentingan rakat petani. Maraknya kasus-kasus gula, beras, buah impor yang semuannya berdampak langsung dalam kehidupan ekonomi para kaum tani. Kita mungkin bertanya-tanya kenapa pemerintah begitu ‘baik’ terhadap kepentingan kelompok tertentu dengan memberlakukan pajak impor hanya 25% yang setidaknya dipatok pada angkan 90%. Pada produk beras, pemerintah memberikan pajak 0% dalam impor beras. Jelas ini kebijakan yang sangat berlawan dengan kepentingan rakyat petani dalam negeri. Kebijakan ini juga akan merusak pasar local.
Inilah kepentingan kaum neo-liberal. Mereka adalah sekumpulan para pemilik modal besar internasional yang akan mengancam kesejahteraan rakyat
Apakah neo-liberal itu?
Sebuah solusi untuk bahaya neo-lib
Pertama, kita harus menolak kebijakan neoliberal ini, sebab kebijakan ini jelas-jelas hanya menguntungkan segelintir kaum borjuasi dan menghisap serta memiskinkan kehidupan mayoritas rakyat (buruh-tani). Kedua, rakyat harus segera didorong untuk membentuk lingkaran-lingkaran dan organisasi-organisasi massa yang semuanya itu bermuara pada perlawanan terhadap neoliberal. Jika organisasi rakyat kita sudah kuat, akan sangat mudah membendung ekspansi kebijakan neoliberal; ketiga, neoliberalisme hanya akan sanggup kita enyahkan jika kita juga membangun jaringan perlawanan internasional. Tanpa perjuangan yang sifatnya global, maka perlawanan terhadap neoliberalisme di satu lokal atau satu negara, hanya akan mengalami kegagalan.
Solusi permasalahan produksi pertanian
1. pertanian yang mengarah pada pencapaian alih teknologi yang sebesar-besarnya dan produktifitas secara maksimal
2. mekanisme kolektif dalam meningkatkan perekonomian masyarakat
3. mendorong reformasi agraria untuk menciptakan system pertanahan dan pertanian kooperatif-modern di pedesaan.
0 komentar:
Posting Komentar