Belajar dari histori lembaga mahasiswa Indonesia sebagai alat atau wadah perjuangan yakni dengan mengangkat problem pokok mahasiswa dan rakyat. Di mana problem pokok mahasiswa dan rakyat tentu pendidikan yang murah, ilmiah dan demokratis, sehingga mereka yang ekonominya menengah ke bawah juga mempunyai kesempatan mengecap pendidikan di perguruan tinggi, konsep ini dimiliki oleh dewan–dewan mahasiswa yakni kesetaraan dengan pihak birokrat kampus dalam pengambilan kebijakan pendidikan yang sangat langkah ditemui di lembaga-lembaga Intra kampus sekarang ini.
Dewan mahasiswa kemudian dibubarkan setelah terjadinya peristiwa MALARI (Malapetaka 15 Januari 1974), dimana kita bisa melihat tingkat mobilisasi Dema ini dalam mengadakan rapat akbar dalam menyikapi kedatangan Perdana Mentri Jepang KAKUEI TANAKA ke Jakarta mengenai penanaman modal asing. Aksi ini dilakukan oleh hampir seluruh mahasiswa Indonesia. pemerintah yang terganggu ketenangannya, membuat suatu kebijakan yang kita kenal NKK/BKK dan pelarangan mendirikan organisasi selain SMPT hingga SMU (OSIS).
Aktivitas mahasiswa kemudian dikontrol oleh penguasa lewat kaki tangannya yakni pihak Rektorat dan Dosen Pengajar. Mahasiswa kemudian di dorong untuk melakukan kegiatan yang bersifat serimonial, eksklusif atau mengharumkan nama almamater bahkan watak militeristik yang digunakan ketika menghadapi mahasiswa baru, yang menjadi pertanyaan kita kenapa tidak banyak aktivitas atau gerakan mahasiswa yang gencar issu dunianya (sistem pendidikan). Tentu karena tidak adanya pembasisan atau kaderisasi dan lembaga kampuspun hanya sekedar pelaksana kegiatan yang tinggal dilaksanakan atau disetujui oleh rektorat, lembaga hampir tidak punya nilai tawar dengan birokrat kampus, sehingga kepentingan mahasiswa tidak pernah diperjuangkan.
Kecenderungan mahasiswa sekarang yang malas berlembaga, ini diakibatkan dengan adanya represifitas yang dilakukan oleh birokrat kampus terhadap mahasiswa dengan metode yang sering dipakai yaitu :
1. memperketat absensi kehadiran (kuantitas kehadiran sekitar 80%, jika tidak memenuhi standar demikian maka mahasiswa tersebut tidak dapat mengikuti ujian semester).
2. Merepresif nilai jika bertentangan atau berbeda pendapat dengan dosen dan birokrat kampus.
3. Membuat perjanjian sepihak tanpa melakukan diskusi dengan mahasiswa seperti yang terjadi di UNISRI
4. Merepresif mahasiswa yang kritis dengan metode pemanggilan orang tua/wali.
5. Menghilangkan demokratisasi ketika mahasiswa menuntut.
6. Rutinitas tugas (kawan-kawan mahasiswa EKSAKTA yang paling merasakannya) yang membuat mahasiswa hampir tidak punya waktu untuk mempelajari bidang ilmu lainnya.
7. Pemecatan atau Drop Out seperti yang terjadi di UI Poltek Makassar, Univ. Mulawarman dsb.
Dengan diberlakukannya sistem NKK/BKK, maka mahasiswa secara tidak langsung didorong untuk cepat menyelesaikan studinya, sehingga hampir tidak punya waktu untuk mengkaji berjuta persoalan yang ada diperguruan tinggi. Dan kita kemudian lupa menjawab mengapa pendidikan semakin mahal, tidak ilmiah dan jauh dari nilai demokratisasi? Sepertinya tujuan pendidikan tidak lagi melahirkan manusia-manusia yang utuh melainkan manusia-manusia setengah robot.
Lembaga kampus telah reorientasi dari hakikatnya sebagai lembaga kemahasiswaan yang mengabdi kepada kepentingan mahasiswa dan rakyat banyak. Dimana lembaga kampus sekarang ini hanya melahirkan mahasiswa-mahasiswa seperti berikut ini :
1. Intelektualis : golongan mahasiswa yang banyak mengkomsumsi teori tanpa adanya keperpihakan yang jelas terhadap rakyat.
2. Aktivisme : mahasiswa yang ikut ambil bagian untuk melawan rejim namun setela status mahasiswanya berakhir ia kemudian menjadi penindas-penidas baru.
3. Sektarian : kelompok mahasiswa yang berjuang hanya untuk kepentingan kelompoknya dan merasa tidak usah mengajak lembaga-lembaga yang lainnya.
4. Feodal : Mahasiswa yang terlalu menagungkan senioritas dan merasa dirinya yang paling benar(anti demokrasi).
0 komentar:
Posting Komentar